MENURUT Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan bernuansa seksual, baik yang disampaikan melalui kontak fisik maupun kontak non-fisik. Kini, pelecehan seksual sudah sangat marak terjadi. Para predator pelecehan seksual tidak lagi memandang umur. Target mereka mulai dari yang dewasa hingga masih anak-anak.
Anak yang seharusnya menjadi penerus bangsa yang dilindungi harkat dan martabatnya, kini kebahagian, kesehatan mental bahkan masa depannya direnggut oleh predator-predator yang haus akan kepuasan seksualnya. Anak-anak bukanlah objek sasaran yang bisa semena-mena mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Anak-anak seharusnya mendapatkan perlindungan seluas-luasnya dan sebaik-baiknya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar, baik secara fisik maupun mental.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa adanya perlakuan diskriminatif. Di Indonesia sendiri hal ini sudah diatur dalam Pasal82 Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2014 atas perubahan Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah)".
Dalam Pasal 76 E UU 35 Tahun 2014 pun dijelaskan bahwa:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu daya, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.
Akan tetapi dalam pembuktian Hukum Pidana berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menggunakan lima alat bukti yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Jika dilihat dari sisi pasal tersebut, maka kesulitan utama dalam pengungkapan kasus pelecehan seksual adalah dengan menghadirkan sekurang-kurangnya dua orang saksi dalam proses perkara tersebut yang dimana, pada umumnya pelaku akan melakukan pelecehan seksual di lingkungan yang sepi bahkan tertutup.
Dan juga pada umumnya yang dapat dijadikan sebagai alat bukti adalah visum et reprertum yang terdapat dalam pasal 187 huruf c yaitu:
“Surat dari keterangan seorang ahli yang membuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya”.
Akan tetapi, alat bukti seperti ini juga tidak bisa didapatkan oleh korban yang mengalami pelecehan seperti dirabanya kemaluan atau bagian lainnya, terkecuali korban yang mengalami kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Meskipun, kejahatan seksual yang dilakukan oleh pelaku tidak sampai bersetubuh, akan tetapi akibat yang ditimbulkan juga sangat berpengaruh besar terhadap psikis korban.
Hal inilah yang dapat membuat perlindungan hukum bagi korban pelecehan bisa melemah, jika korban ingin melaporkan akan tetapi bukti yang ada tidak cukup kuat dan akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri karena pelaku bisa saja melaporkan balik korban dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Akan tetapi, jika tidak dilaporkan hal yang kecil akan menjadi besar, yang awalnya disentuh bisa jadi akan diperkosa jika predator seperti itu dibiarkan. Dan akan banyak lagi korban-korban yang seharusnya menjadi penerus bangsa malah psikisnya terganggu dan merasa dirinya hancur.
Maka dari itu, upaya pemerintah dalam melindungi korban pelecehan seksual terlebih anak-anak dapat dikatakan belum maksimal. Hal ini dikarenakan masih susahnya untuk mengumpulkan bukti sesuai dengan aturan yang ada. Dan juga, menurut penulis, hukuman untuk pelaku pelecehan seksual belum ada yang maksimal hingga membuat pelaku jera.
Oleh sebab itu, untuk melindungi anak-anak penerus bangsa dari pelecehan seksual, maka hukum di Indonesia harus mengalami pembaharuan hukum formil karena masih membutuhkan alat bukti seperti keterangan saksi dan hasil visum. Karena kondisi inilah yang membuat korban atau orang tuanya sulit untuk melaporkan kejadian pelcehan yang dialami. Selain itu, seharusnya korban pelecehan mendapatkan pemulihan kondisi secara fisik maupun mental secara gratis. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat Indonesia mampu untuk membiayai psikolog/psikiater untuk pemulihan kesehatan mental korban. (**)
**) Artikel dari Viona Marvella, Mahasiswa FH UBB
Editor : Muri Setiawan