JAKARTA, lintasbabel.id - Negara telah kalah dan gagal dalam melindungi rakyatnya. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua DPR RI, Rachmat Gobel terkait kisruh perdagangan minyak goreng yang terjadi beberapa bulan terakhir di seluruh Indonesia.
Menurut dia, simbol kekalahan tersebut bisa dilihat dari pernyataan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi, yang mengakui tak bisa melawan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan.
Sebagai catatan, harga minyak goreng melambung sejak Desember 2021 yang lantas berlanjut pada kelangkaan bahan kebutuhan pokok tersebut. Pemerintah kemudian menetapkan batas atas harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng kemasan (Rp14.000 per liter) dan minyak goreng curah (Rp11.500 per liter).
Pemerintah juga memberikan subsidi agar harga minyak goreng tetap terjangkau masyarakat. Namun kemudian, yang terjadi adalah kelangkaan minyak goreng. Masyarakat harus berebut untuk mendapatkan minyak goreng subsidi yang dijual melalui minimarket dan supermarket.
Masyarakat juga harus antre berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng subsidi melalui operasi pasar yang dilakukan sejumlah pihak. Bahkan akibat antre ini, ada warga yang meninggal setelah mengalami sesak napas.
Atas kelangkaan ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) bahkan menuduh ibu-ibu menimbun minyak goreng di dapur.
Akhirnya, mulai Rabu (16/3/2022), pemerintah mencabut ketentuan HET dan menyerahkan harga minyak goreng kemasan sesuai mekanisme pasar. Adapun untuk minyak goreng curah dikenakan HET baru sebesar Rp14.000 per liter.
Usai pengumuman itu, tiba-tiba minyak goreng hadir berlimpah di minimarket dan supermarket dengan harga sekitar Rp22.000-24.000 per liter.
“Kondisi ini menunjukkan negara kalah dan didikte oleh situasi,” tukas Gobel, Jumat (18/3/2022).
Mantan Mendag itu menyatakan, Indonesia adalah negara penghasil CPO dan minyak goreng terbesar di dunia, sehingga tidak ada masalah dengan produksi. Hal yang jadi masalah adalah meningkatnya permintaan dunia sehingga harga naik.
Dengan kenaikan tersebut, kata Gobel, para pengusaha lebih memilih menjual produksinya ke luar negeri dengan harga lebih mahal daripada menjual ke dalam negeri dengan harga yang diatur pemerintah.
“Ini yang menjadi penyebab kelangkaan. Jadi bukan ditimbun ibu-ibu seperti pernyataan pejabat Kemendag yang asbun itu. Terbukti setelah batasan harga dihapus, minyak goreng berlimpah lagi,” tuturnya.
Sebelum ada gejolak harga, minyak goreng kemasan di tingkat konsumen dijual di harga sekitar Rp9.000 per liter. Kini, harganya berkisar Rp22.000- 24.000 per liter.
“Hampir tiga kali lipat kenaikannya. Ini keuntungan yang berlimpah dan berlebihan,” ucap politisi partai Nasdem.
Gobel mengatakan, Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Saat ini, di masa pandemi, masyarakat sedang menderita.
Data-data statistik menunjukkan angka kemiskinan meningkat, pengangguran bertambah, dan kesenjangan kaya-miskin melebar.
“Dengan melejitnya harga minyak goreng berarti seperti jatuh tertimpa tangga pula. Secara sosial-ekonomi ini juga berarti tersedotnya uang dari bawah ke atas. Ini akan sangat membahayakan bagi ketahanan nasional,” katanya.
Lebih lanjut Gobel menyatakan, produsen harus diajak untuk bertanggung jawab terhadap ketersediaan barang di pasar dan juga dalam menentukan harga. Dia juga mengingatkan bahwa minyak goreng termasuk ke dalam barang strategis, bukan seperti barang-barang kebutuhan sekunder maupun tersier seperti kendaraan dan elektronika.
“Sehingga, industri pangan bahan pokok bukan sekadar dilihat dari sisi investasi tapi bagian dari partisipasi dalam pembangunan. Jadi harga bahan pokok, termasuk minyak goreng, jangan dilepas ke pasar,” tegasnya.
Gobel mengatakan, negara harus berpihak ke rakyat dan melindungi rakyat. Negara juga harus mencegah pemiskinan dan memakmurkan warganya.
Lebih lanjut, Gobel menyatakan, masalah harga minyak goreng ini hanya butuh keberanian, ketegasan, kepemimpinan, kemampuan manajerial dan pendekatan kemanusiaan pemerintah terhadap produsen minyak goreng dan produsen minyak sawit mentah (CPO).
“Tugas pemerintah mengatur dan bertindak di lapangan, bukan cuma ngomong dan mondar-mandir. Jangan jadi macan kertas dan jangan menjadi macan ompong,” sindirnya.
Dia menambahkan, pencabutan HET minyak goreng kemasan dan menaikkan HET minyak goreng curah sama saja membiarkan masyarakat kecil disorong untuk bertarung melawan raksasa pengusaha.
Editor : Muri Setiawan