Tempat tinggal keluarga ini jauh dari kata layak. Bagian dapur beratapkan langit dengan dinding papan puing dari reruntuhan sedikit menempel dan lantai papan yang separuh keropos.
Hanya bagian tengah bangunan yang kondisinya masih sedikit mendingan. Sebagian atap masih mampu menahan dari terik matahari maupun hujan. Namun itupun tak penuh, karena dibeberapa sudut masih terlihat bolong.
Mukmin bersama keluarganya tak punya pilihan. Mereka terpaksa tetap tinggal disana, tanpa mengenal rasa mengeluh. Bagi Mukmin pantang baginya mengharap belas kasih menengadahkan tangan kepada orang lain atau pemerintah setempat.
"Alat rumah seperti baju dan lainnya diletakan di bagian tengah rumah. Tidur itu alakadarnya, kalau hujan kandang - kadang kehujanan, karena kan sengnya itu bekas juga dapat dikasih kawan," ucap Mukmin.
Tak mau berpangku tangan dan berharap penuh bantuan pemerintah, Mukmin yang biasanya melaut, juga kerap menjadi kuli bangunan. Sementara sang istri menjadi pembantu rumah tangga tak jauh dari kediamannya.
"Sampai saat ini belum ada bantuan dari pemerintah. Ada dari warga di sekitar sini, ada yang kasih batu bata, semen dan atap. Selebihnya saya dapat dari sisa-sisa bangunan yang sudah roboh ditempat lain. Hingga ada berdiri batu bata dibagian depan rumah seperti ini," katanya.
Empat orang anak Mukmin masih sangat belia. Satu orang baru saja menyelesaikan studi Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan yang paling kecil baru mau masuk Sekolah Dasar (SD) sedang dua anak lainnya tengah belajar di SD.
Mukmin terkadang sedih ketika melihat anak-anaknya. Pendidikan mereka terancam putus, karena kondisi perekonomian kelurga yang tak memungkinkan.
"Saya pokoknya kayak manapun, yang penting anak bisa sekolah. Jadi (kerja-red) apa aja mau yang penting halal. Jangan sampai anak-anak kelak kayak kami ini, kayak bapaknya tinggal di gubuk," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Editor : Muri Setiawan