JAKARTA, lintasbabel.id - Minuman teh kemasan bisa berpotensi haram. Hal tersebut dijelaskan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Dilansir dari dari laman LPPOM MUI (14/10/2021), auditor halal senior LPPOM MUI, Profesor Sedarnawati Yasni menerangkan, bahwa daun teh yang merupakan bahan nabati sejatinya tidak memiliki titik kritis.
Namun, lain halnya jika dalam pembuatannya mencampurkan bahan tambahan lain, karena sebagaimana diketahui pembuatan teh dilakukan dengan cara fermentasi spontan sehingga tidak berpotensi haram.
Fermentasi pada daun teh tidak menggunakan mikroba sebagai sumber enzim, tetapi menggunakan enzim polyphenol oksidase yang terdapat pada daun teh itu sendiri. Jika daun teh diremas, maka enzim ini akan keluar dan bereaksi dengan polifenol dan oksigen membentuk polifenol yang teroksidasi.
"Dalam proses produksi teh banyak bahan yang ikut dicampurkan. Hal itulah yang membuat teh, khususnya minuman teh kemasan, tetap wajib diwaspadai titik kehalalannya oleh konsumen Muslim. Selain dalam bentuk serbuk, di pasaran juga telah banyak beredar teh siap minum yang dikemas di dalam kotak maupun botol," jelas pakar rempah IPB tersebut dalam keterangan tertulis di laman LPPOM MUI.
Prof Sedarnawati, yang pernah melakukan penelitian tentang minuman Cinna Alle yang terdiri dari 17 jenis rempah-rempah, menjelaskan bahwa salah satu titik kritis kehalalan pada teh terletak pada kandungan perisa yang bisa terkait beberapa hal. Adanya teh dengan berbagai rasa dan aroma, tak lepas dari faktor perisa. Misalnya teh aroma dan rasa melati, vanila, lemon, mint, dan sejenisnya.
Perisa adalah bahan tambahan pangan yang digunakan untuk memberikan aroma dan rasa tertentu pada makanan atau minuman. Secara umum perisa dibuat melalui pencampuran bahan-bahan kimia dan melalui pencampuran flavor alami dengan aroma kimiawi. Potensi keharaman perisa dapat disebabkan oleh karena pelarut, bahan dasar, atau bahan aditif yang digunakan. Dalam beberapa kasus, penggunaan flavor dari bahan hewani masih ditemukan pada perisa atau flavor yang menggunakan formula lama.
Dari penggunaan flavor tersebut mesti diperhatikan juga komponen pembuatannya, salah satunya fusel oil. Fusel oil umumnya merupakan hasil samping industri pembuatan minuman beralkohol, khususnya minuman keras yang dihasilkan dari proses distilasi produk fermentasi alkohol. Dikarenakan diperoleh dengan memanfaatkan hasil samping minuman beralkohol (khamar), maka fusel oil juga tidak diperkenankan digunakan oleh umat Muslim.
Intinya, penambahan perisa atau flavor tidak akan bermasalah pada aspek kehalalannya jika bahan yang digunakan adalah campuran berasal dari bahan alami, seperti bunga melati (nabati).
Editor : Muri Setiawan