BERKACA pada sebuah brand yang bernama Nokia pada beberapa tahun silam. Kita bisa belajar bahwa sebuah produk yang tidak melakukan kesalahan apapun, bisa tergerus bahkan hancur dalam hitungan tahun. Bahkan mantan CEO Nokia pada saat itu, Stephen Eloppernah berkata, “kami tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi entah mengapa kami kalah”. Setelah Nokia, ada Blackberry juga mengalami nasib yang sama. Pernah unggul dengan Blackberry Messenger-nya. Raksasa industri yang berbasis di Kanada tersebut mengalami nasib yang sama.
Kesalahan dari kedua raksasa teknologi itu berasal dari kurangnya inovasi dalam mengembangkan produk mereka untuk jangka waktu yang lama. Sejak tercetusnya Revolusi Industri 4.0 di Jerman pada tahun 2012 lalu, produsen teknologi dunia mulai berlomba-lomba melakukan Research and Development (RnD) yang memungkinkan produk mereka bertransformasi ke arah digital.
Transformasi digital bisa diartikan sebagai suatu perubahan yang berhubungan dengan penggunaan teknologi digital dalam kehidupan bermasyarakat. Seluruh daerah sekarang sedang mengalami transformasi digital, pembelian kebutuhan sehari-hari, beralih menjadi belanja online. Belajar dan bekerja yang biasanya di sekolah dan di kantor, sekarang beralih menjadi bekerja/belajar online. Pembayaran yang biasa menggunakan uang cash, beralih menjadi pembayaran digital. Sebuah transformasi digital yang secara tidak langsung memaksa kita untuk beralih dari keadaan yang konvensional. Di masa pandemi sekarang, masyarakat Indonesia secara tidak langsung semakin familiar dengan konsep online.
Transformasi digital bisa menjadi key maker kebangkitan sektor usaha yang ada. Baik dari usaha berskala mikro sampai ke usaha berskala besar. Memang sangat banyak tantangan yang menghadang, tetapi kalau tidak mencoba adaptif dengan kondisi yang ada sekarang, bisa jadi apa yang dialami Nokia dan Blackberry menimpa kembali ke sektor usaha sekarang.
Kita bisa menyaksikan beberapa contoh usaha hasil karya anak negeri yang bisa menorehkan karya yang luar biasa dari transformasi digital. Lihat saja perusahaan Gojek yang sudah berhasil dipercaya dunia menjadi market leader di industri ride hailing di Indonesia. Bahkan sekarang mereka akan menambah lini usaha mereka yang tadinya hanya sebuah aplikasi antar–jemput penumpang. Contoh lain ada Bluebird taxi untuk di dalam negeri dan ada Air Asia di luar negeri, yang mau tidak mau mencoba untuk meyediakan platform digital.
Menurut data dari Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2020, ada 183.796 jumlah pelaku usaha yang terdata. Dengan persentase 146.662 ada di skala mikro, 36.228 di skala kecil, 841 di skala menengah dan 65 di skala besar. Dengan jumlah yang sekian banyak tersebut, seharusnya bisa menjadi tulang punggung perekonomian di Bumi Serumpun Sebalai ini. **
** Ryand Daddy Setyawan, M.A.B (Dosen Universitas Bangka Belitung)
Editor : Muri Setiawan