JAKARTA, lintasbabel.id - Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY), Sukma Violetta, menyebut pihaknya telah menerima 115 laporan masyarakat, terkait perkara pertanahan pada 2019-2021.
Sukma menyebut, pihaknya menerima aduan perkara pertanahan paling banyak dari DKI Jakarta. Disusul Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara.
"KY telah menerima laporan terkait perkara pertanahan sebanyak 115 yang terdiri 42 laporan pada 2019, 38 laporan pada 2020, dan 35 laporan pada 2021," ujar Sukma dalam keterangannya, Jumat (8/10/2021).
Sukma menjelaskan, perkara pertanahan yang banyak dilaporkan ke KY, didominasi pengusaan tanah tanpa hak. Hal lainnya, yakni keberatan atas proses dan putusan pengadilan, sengketa waris, hingga sertifikat ganda.
Laporan masyarakat itu diterima oleh KY untuk kemudian diverifikasi kelengkapan persyaratan, apakah telah memenuhi syarat administrasi dan substansi untuk dapat diregistrasi.
Proses penanganan laporan selanjutnya dilakukan melalui pemeriksaan terhadap berbagai pihak (pelapor dan saksi) yang dilengkapi dengan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), mengumpulkan bukti-bukti yang detil sebelum memeriksa hakim, hingga memberikan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahan. Penjatuhan sanksi ini berdasarkan hasil pemeriksaan serta pengambilan keputusan berupa sidang panel dan sidang pleno oleh Anggota KY.
"KY membutuhkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan peradilan yang bersih dengan menyampaikan laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim, utamanya yang terkait dengan perkara pertanahan," kata Sukma.
KY juga melakukan pemantauan persidangan kasus pertanahan sebagai upaya preventif untuk mengawal jalannya persidangan agar berjalan dengan independen dan mandiri.
Pemantauan terutama diarahkan agar membantu para pencari keadilan untuk mendapatkan akses persidangan yang adil dan tidak memihak.
"Sejak 2019 hingga 2021, KY menerima 23 permohonan pemantauan persidangan terkait kasus pertanahan. KY tidak bermaksud mengintervensi jalannya perkara, tetapi berupaya menjaga dan menegakkan kehormatan perilaku hakim dalam memeriksa serta memutus perkara," lanjut Sukma.
Sukma juga mengungkap potensi kerawanan pelanggaran kode etik hakim secara umum. Misalnya, dalam hal pembuktian, hakim tidak memberikan kesempatan yang sama bagi para pihak untuk mengajukan bukti surat dan saksi/ahli.
Contoh lainnya, dalam pemeriksaan setempat, lanjutnya, pemeriksaan dilakukan tanpa kehadiran para pihak yang berperkara.
"Dalam tahapan eksekusi, contoh potensi pelanggaran perilaku adalah melakukan komunikasi dengan salah satu pihak berperkara," kata Sukma.
Editor : Muri Setiawan