JAKARTA, lintasbabel.id - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengakui bahwa harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax di pasaran saat ini sudah terlalu murah, bahkan jauh di bawah harga keekonomian.
Dengan pergerakan harga minyak mentah dunia mencapai lebih dari 100 dollar AS per barel, Kementerian ESDM memperhitungkan bahwa harga keekonomian Pertamax saat ini berada di level Rp14.526 per liter. Sedangkan Pertamina masih menjualnya di kisaran harga Rp9.000 hingga Rp9.400 per liter.
"Ya memang wajar (bila harga Pertamax dinaikkan). Kan pemerintah sendiri sudah mengakui bahwa harga keekonomiannya sudah demikian tinggi, jadi memang perlu penyesuaian. Tinggal kemudian bagaimana penyesuaian itu bisa dilakukan dengan baik dan benar, sehingga bisa diterima dengan baik juga oleh masyarakat," ujar Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, kepada media, Kamis (24/3/2022).
Menurut Tulus, masyarakat perlu memahami bahwa Pertamax bukan merupakan jenis BBM bersubsidi. Sehingga dengan demikian, sangat wajar bila harga jualnya sepenuhnya mengikuti pergerakan harga pasar.
"Bahkan kalau kita mau teliti, Pertalite pun itu statusnya bukan BBM Bersubsidi. yang bersubsidi itu BBM jenis Premium. Jadi kalau memang (harga Pertamax dan Pertalite) naik, itu sepenuhnya corporate approach, tidak bisa diintervensi dan harus dimaklumi oleh semua pihak, termasuk juga pemerintah," tutur Tulus.
Yang kemudian menjadi masalah, menurut Tulus, adalah seberapa besar support pemerintah di lapangan agar Pertamina tidak menjadi pihak yang dipersalahkan bila satu ketika ada ketidakpuasan atau tentangan dari masyarakat.
Guna mengantisipasi risiko tersebut, salah satu opsi yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah mengalihkan pengumuman kenaikan harga Pertamax dari Pertamina ke Kementerian ESDM.
"Jadi jangan mentang-mentang ini corporate approach, lalu Pertamina ditinggalkan dan terjepit di tengah. Pemerintah harus ambil action, antara pasang badan untuk pengumumannya agar Pertamina tidak diserang, atau kalau pemerintah tidak cukup berani (menaikkan harga), ya tinggal bayar selisih antara harga jual dan harga keekonomian. Dengan begitu jadi fair untuk semua," tegas Tulus.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait