Menolak Lupa: September Hitam! Sebuah Refleksi Kritis Konflik Agraria dalam Perspektif HAM

Jurnalis Warga
Raden Bagus Barkah, Staf Kastrad DEMA SAS BABEL. Foto: Istimewa.

LOGICAL REASONING - September Hitam berakar dari ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah yang dianggap abai dalam menangani berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. Peringatan ini diadakan di Indonesia untuk mengenang pelanggaran HAM yang terjadi pada bulan September, sejauh sejarah terukir di bulan September banyak terjadi pelanggaran HAM yang berat (gross violations of human rights) dan bahkan dinilai sebagai kejahatan yang amat serius (the most serious crimes) seperti kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity).

Ini ditujukan untuk mengingatkan publik akan pentingnya menghormati hak asasi manusia serta menuntut keadilan bagi para korban. Dalam peringatan ini, masyarakat sipil, keluarga korban, dan aktivis HAM bersatu untuk menuntut pengungkapan kebenaran, akuntabilitas, serta perlindungan terhadap hak-hak korban.

 

KOHERENSI

Pelanggaran HAM kini meluas ke berbagai aspek, termasuk lingkungan hidup, dan tidak terbatas pada peristiwa sosial-politik. Konflik agraria dan keadaan darurat iklim menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi rakyat dari kejahatan lingkungan, terutama terkait krisis iklim, sebagaimana dilaporkan dalam berbagai penelitian. Meskipun terdapat regulasi seperti Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penerapannya masih sangat lemah. Masyarakat adat, petani, dan kelompok rentan lainnya sering mengalami kriminalisasi dalam upaya mereka mempertahankan lingkungan.

Selain itu, meskipun Keputusan Ketua Mahkamah Agung Tahun 2013 menekankan pentingnya hakim yang bersikap progresif, substansif, dan humanis dalam perkara lingkungan hidup, para pembela lingkungan sering menghadapi kekerasan fisik dan kriminalisasi baik secara pidana maupun perdata.

 

KASUS

1. Kasus tanah adat di Papua 

Mencerminkan benturan antara kepentingan korporasi besar, kebijakan negara, dan hak-hak masyarakat adat yang terabaikan. Tanah adat di Papua memiliki nilai sakral dan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat adat, yang mencakup aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, tanah-tanah ini sering kali dijadikan objek penguasaan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk eksploitasi sumber daya alam, seperti tambang dan perkebunan kelapa sawit, tanpa melibatkan atau memperoleh persetujuan dari masyarakat adat.

2. Konflik Pulau Rempang

Proyek pembangunan Rempang Eco City di Pulau Rempang, Batam, telah memicu protes dari masyarakat yang merasa hak atas tanah mereka terancam. Kasus ini mencerminkan kecenderungan pemerintah yang lebih mendukung kepentingan pemilik modal, menyulitkan masyarakat dalam mendapatkan sertifikat tanah, dan menambah daftar panjang konflik agraria di Indonesia.

3. Eksploitasi Tambang Timah di Bangka Belitung

Eksploitasi tambang timah, yang melibatkan perusahaan-perusahaan tambang besar dan masyarakat lokal. Di wilayah ini, tambang timah memang menjadi sektor ekonomi utama dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah serta perekonomian nasional. Namun, di balik keuntungan ekonomi tersebut, ada sejumlah dampak sosial dan kerusakan lingkungan yang serius yang menyebabkan ketegangan antara perusahaan tambang dan masyarakat setempat.

Data menunjukkan bahwa konflik agraria di Indonesia masih sangat tinggi, dengan 692 kasus dalam delapan bulan terakhir. Konflik ini melibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan, termasuk hak atas kesejahteraan, hak memperoleh keadilan, hak atas rasa aman, dan hak untuk hidup.

PELANGGARAN HAM

Alasan mengapa Konflik Agraria Eksploitasi Tambang Timah masuk dalam kategori Pelanggaran Hak Asasi Manusia

1. Pengambilalihan Lahan: Banyak perusahaan tambang timah yang menguasai lahan tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal. Masyarakat yang telah lama tinggal di daerah tersebut sering kali diusir atau kehilangan akses ke tanah mereka tanpa kompensasi yang memadai. Hal ini menyebabkan ketegangan antara perusahaan tambang dan komunitas lokal.

2. Kerusakan Lingkungan: Aktivitas tambang timah di Bangka Belitung menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, termasuk pencemaran air dan tanah akibat limbah tambang, serta deforestasi. Kerusakan ini berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama yang bergantung pada sumber daya alam lokal untuk kehidupan sehari-hari mereka.

3. Kriminalisasi Aktivis Lingkungan: Para aktivis dan anggota masyarakat yang berusaha melawan dampak negatif dari tambang sering mengalami intimidasi dan kriminalisasi. Beberapa telah dilaporkan menghadapi ancaman, kekerasan, dan tindakan represif oleh pihak keamanan atau perusahaan.

4. Respon dan Penyelesaian: Meskipun ada beberapa regulasi terkait perlindungan lingkungan dan hak masyarakat, penerapannya sering kali tidak efektif. Kasus ini mencerminkan kegagalan dalam menegakkan hukum dan memberikan perlindungan yang memadai kepada masyarakat yang terdampak.

Kasus eksploitasi tambang timah di Bangka Belitung menggambarkan bagaimana konflik agraria dapat berakibat pada pelanggaran hak asasi manusia, terutama terkait dengan hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Juga menambah daftar panjang konflik agraria di Indonesia. **) 

Editor : Muri Setiawan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network