DEWASA ini perkembangan teknologi mengalami kemajuan yang sangat cepat, kemajuan yang sangat dirasakan yaitu di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Dimana setiap orang dapat dengan mudah berbagi dan mendapatkan informasi secara cepat. Media sendiri mempunyai peranan yang cukup besar sebagai pembentuk konstruksi masyarakat, dimana hal itu terlihat dari pemberitaan media yang masih bias gender, khususnya terkait konten yang menampilkan representasi perempuan. Selain itu kekuatan media telah ikut andil dalam penyebaran stereotipe mengenai perbedaan gender.
Secara sosiologis, gender merupakan bentuk dari bagaimana masyarakat menkontruksikan antara laki-laki dengan perempuan. Masyarakat cenderung mempersepsikan bahwa gender merupakan kodrat dari Tuhan, namun sebenarnya gender terbentuk oleh konstruksi lingkungan dan dapat dipertukarkan. Gender juga dapat dikatakan sebagai pembagian peran antara laki-laki dengan perempuan, dimana laki-laki selalu diibaratkan sebagai makhluk yang kuat dan tangguh (maskulinitas) dan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan gemulai (feminitas). Gender merupakan hasil dari kontruksi yang masyarakat itu sendiri dan berlaku pada waktu tertentu.
Konstruksi gender dan stereotipe feminitas dalam konteks patriarki membuat perempuan mengalami berbagai hambatan karena nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat membatasi akses dan kesempatannya. Konstruksi masyarakat mengenai feminitas melahirkan kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan, dan media menjadi propagandis terdepan dalam meluasnya stereotipe tersebut. Oleh karena itu, penggambaran mengenai perempuan di media sering kali tidak sesuai menciptakan gerakan feminisme dalam media.
Feminitas dalam media digambarkan sebagai perempuan yang ideal, yang mampu mengatasi ranah domestik, seperti ibu rumah tangga. Kerap kali timbul pernyataan seperti ini saat ada perempuan yang meniti karir “perempuan tidak apa-apa bekerja di luar rumah, namun jangan melupakan tugas rumah.” Padahal laki-laki juga tinggal dirumah yang sama, namun kenapa laki-laki tidak dituntut untuk mengerjakan tugas rumah? Tidak bisa dipungkiri hal tersebut terjadi karena pengaruh media dalam membentuk konstruksi di masyarakat.
Menurut Komnas Perempuan, pada tahun 2018 terdapat kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 406.178 orang. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 sebesar 348.466 orang. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terjadi peningkatan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan di setiap tahunnya. Dan diskriminasi terhadap perempuan pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan.
Diskriminasi terhadap perempuan merupakan sistem yang membuat kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban untuk memahami bagaimana perbedaan gender. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi secara nyata. Selama tidak ada laki-laki yang mendominasi perempuan, perbedaan gender bukanlah sebuah masalah. Namun permasalahannya tidaklah sesederhana yang dipikirkan, ternyata perbedaan gender tersebut telah melahirkan berbagai diskriminasi baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan.
Diskriminasi terhadap perempuan juga tergambar dalam hobi. Konstruksi mengenai hobi yang dibangun oleh media adalah laki-laki identik dengan hobi yang bersifat keras dan menantang. Sedangkan perempuan identik pada hobi yang berhubungan dengan kecamtikan atau rumah tangga. Sering kita mendengar celotehan yang mengarah pada anggapan hobi itu berasosiasi dengan gender. Contohnya adalah seorang perempuan yang hobi olahraga angkat beban akan diangggap aneh, tidak sesuai kodrat, atau disebut tidak bisa menjaga kecantikan diri. Padahal, hobi itu bukanlah sebuah kodrat, namun sebuah kegemaran yang bersifat unisex.
Dalam pandangan konstruktivisme, peristiwa yang ditampilkan oleh media massa merupakan hasil kontruksi media. Dimana media massa bukan faktor tunggal yang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap bias gender. Secara tidak langsung media memang tidak melahirkan terjadinya ketidaksetaraan gender ataupun diskriminasi terhadap perempuan, tetapi dengan hadirnya media dapat memperkuat dan sampai memperburuk ketidakadilan terhadap perempuan. Media dikenal sebagai pemberi informasi dan hiburan untuk masyarakat serta menampilkan konten yang mendidik. Namun realitanya masih banyak terdapat konten-konten dalam pemberitaaanya mengenai ketidakadilan gender terutama diskriminasi terhadap perempuan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa media memang mengandung bias gender, hal tersebut dikaranakan masih terdapat konten-konten yang mendeskriminasikan perempuan melalui baik visual, teks dan bahkan citra. Dan masih sering kita jumpai di media massa ataupun media sosial sosok perempuan yang tubuhnya digunakan untuk aktivitas ekonomi semata berdasarkan kontruksi sosial. Dimana hanya bagian dari tubuh perempuan (seperti muka, kaki, tangan) yang diambil untuk disajikan di media sebagai pembentuk citra yang kemudian perempuan dijadikan objek hasrat untuk mencapai kepuasan. Melalui kondisi yang seperti ini maka jelas perempuan yang menjadi korban dari ketidaksetaraan gender. **
Penulis : Betty Freskila, Maura Nissa Oktavia, Rustina (Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP UBB)
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait