Kota Kapur: Sejarah yang Ditemukan, Identitas yang Hilang
BANGKA, Lintasbabel.iNews.id - Penemuan situs baru di Kota Kapur harusnya jadi momen bangga dan reflektif: ada bukti konkret bahwa Bangka Belitung bukan sekadar “pulau penambang”, tapi bagian dari jaringan peradaban maritim Nusantara. Arca, potongan emas, fragmen keramik semua itu berbisik: ada cerita besar yang menunggu diceritakan.
Tapi kenyataannya? Cerita itu hampir tak pernah sampai ke rakyatnya sendiri. Dan seperti biasa, Bangka Belitung kembali membuktikan satu hal: daerah ini kaya sejarah, tapi miskin perhatian.
Tambang ilegal dan sawit jadi musuh terbesar masa lalu
Alih-alih dijaga, situs Kota Kapur justru “dikepung” tambang timah dan sawit. Seolah sejarah ribuan tahun tidak ada apa-apanya dibanding harga bijih timah per kilogram.
Yang menyakitkan: intervensi pemerintah untuk menghentikan atau menata dua aktivitas itu minim. Tambang ilegal jalan terus; sawit berkembang tanpa kontrol budaya atau lingkungan yang memadai. Intinya: ketika excavator dan chainsaw bergerak lebih cepat daripada tim arkeolog, masa lalu kalah cepat.
Sejarah itu identitas bukan sekadar hafalan di buku paket
Dalam kajian identitas, Maurice Halbwachs bilang bahwa memori kolektif adalah fondasi jati diri masyarakat. Jan Assmann menegaskan bahwa identitas budaya tumbuh dari memori yang ditransmisikan lintas generasi. Sementara Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai komunitas yang dibayangkan diikat oleh narasi bersama.
Kalau begitu, mari kita jujur:Masyarakat Bangka Belitung membayangkan dirinya pakai narasi apa?Karena narasi sejarahnya sendiri hampir tidak pernah diceritakan.
Generasi muda lebih hafal sejarah kerajaan di Jawa daripada sejarah peradaban bahari di tanah kelahirannya. Lebih hafal Proklamasi daripada sejarah masuknya migran Melayu, Tionghoa, Arab, dan Bugis ke Babel. Dan ini bukan salah mereka ini salah sistem pembelajaran yang memutus hubungan antara masa lalu dan warga masa kini.
Kalau sekolah, museum, dan pemerintah tidak mengelola memori ini, apa yang tersisa? Hanya potongan fakta tanpa rasa memiliki.
Pemerintah Bangka Belitung: lambat, tidak serius, dan tidak sensitif sejarah
Kalau pemerintah benar-benar peduli sejarah, harusnya sudah ada pusat riset, digitalisasi arsip, kurikulum sejarah lokal, serta perlindungan hukum ketat untuk situs Kota Kapur.
Langkah pemerintah terkesan fragmentaris: seminar sesekali, pernyataan publik, tanpa strategi komprehensif untuk “menjemput” dan menyusun narasi besar bagi publik. Padahal kalau sejarah dianggap aset, tindak nyata bukan cuma retorika.
Lebih ironis lagi, banyak catatan sejarah Babel justru tersimpan di Universitas Leiden ribuan kilometer jauhnya. Tapi pemerintah seperti santai saja. Seolah sejarah Bangka Belitung lebih aman kalau disimpan di luar negeri daripada dipelajari oleh warganya sendiri.
Masalah sejarah jadi elitis dan masyarakat jadi penonton
Yang punya cerita sejarah Babel sekarang cuma lingkaran kecil orang: para tetua adat, para Datuk, para pemilik silsilah. Mereka bukan musuh — mereka penyimpan pengetahuan. Yang jadi masalah adalah pemerintah membiarkan sejarah menjadi konsumsi eksklusif, bukan pengetahuan publik. Tak pernah mencapai anak sekolah, nelayan, buruh, atau ibu rumah tangga.
Akibatnya: sejarah terasa jauh, identitas lokal terasa kabur,generasi muda tumbuh tanpa kebanggaan terhadap tanahnya. Kalau terus seperti ini, jangan heran kalau suatu hari anak muda Babel lebih bangga dengan influencer daripada leluhurnya sendiri.
Pertanyaan besarnya: masyarakat seperti apa yang ingin dibangun tanpa tahu dari mana ia berasal?Bagaimana mencintai tanah ini kalau sejarahnya saja tidak pernah diceritakan? Bagaimana menjaga warisan kalau masyarakat tidak merasa memiliki?
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Kota Kapur sudah bicara lewat temuan arkeologi. Sejarah sudah “pulang ke rumah”. Tapi kalau pemerintah masih sibuk urus tambang, dan masyarakat masih dibiarkan jauh dari narasi masa lalu, maka yang tersisa hanyalah slogan: Bangka Belitung kaya budaya.Kaya budaya, tapi miskin pengetahuan. Kaya sejarah, tapi miskin kemauan.
Kalau kita tak menjaga masa lalu, maka masa depan hanya jadi nama tanpa makna.Dan satu hari nanti, mungkin generasi mendatang hanya bisa membaca sejarah Babel di museum Belanda. Karena kita gagal menjaganya ketika masih ada di depan mata.

Editor : Haryanto