get app
inews
Aa Text
Read Next : Keren! Mahasiswa Asal Mentok Bantu Petani Lada Lewat Aplikasi MySahang

Menata Pikiran Sebelum Birokrasi: Sebuah Refleksi Filsafat Administrasi Publik

Rabu, 05 November 2025 | 19:08 WIB
header img
Reformasi birokrasi sejatinya bukan sekadar proyek penataan sistem dan prosedur, melainkan upaya menata pikiran manusia di baliknya. Ilustrasi PNS. (Foto: Shutterstock).

Selama dua dekade terakhir, reformasi birokrasi di Indonesia cenderung dijalankan secara teknokratis. Ada peta jalan, indikator kinerja, dan laporan capaian yang disusun dengan baik. Namun di lapangan, banyak perubahan yang hanya bersifat kosmetik. Struktur organisasi diubah, tetapi budaya kerja tidak beranjak. Teknologi informasi diperbarui, namun orientasi pelayanan publik tetap formalistik. Birokrasi tampak modern di luar, tetapi berpikir dengan pola lama di dalam.

Padahal, administrasi publik tidak semata-mata urusan teknis. Ia adalah praktik sosial dan etis. Di balik setiap regulasi dan prosedur, selalu ada nilai yang mendasarinya: keadilan, tanggung jawab, dan kemanusiaan. Ketika reformasi dijalankan tanpa kesadaran akan nilai-nilai itu, birokrasi kehilangan makna moralnya. Ia menjadi mesin administratif yang efisien di permukaan, namun hampa refleksi di dalam.

Salah satu akar persoalan birokrasi di negeri ini terletak pada paradigma kepatuhan. Banyak birokrat merasa tugasnya selesai ketika semua aturan dijalankan dan laporan disusun sesuai format. Padahal, administrasi publik tidak berhenti pada kepatuhan prosedural, tetapi menuntut pemahaman terhadap tujuan moral dan sosial dari setiap kebijakan. Filsafat mengingatkan bahwa perubahan sejati dimulai dari perubahan cara berpikir—dari logika instruksi menuju logika refleksi. Birokrat perlu menanyakan kembali makna dari setiap tindakan administratifnya: apakah keputusan ini bermanfaat bagi publik? Apakah kebijakan ini adil dan manusiawi?

Ketika kesadaran reflektif semacam itu tumbuh, birokrasi tidak lagi menjadi mesin yang bekerja otomatis, melainkan ruang moral tempat nilai-nilai publik dijaga dan dijalankan. Birokrat tidak lagi sekadar pelaksana kebijakan, tetapi reflektor kebijakan orang yang mampu menimbang, menilai, dan bahkan mengkritisi arah kebijakan yang ia jalankan. Ia tidak hanya dituntut untuk patuh, tetapi juga untuk berpikir kritis dan berempati.

Karena itu, pendidikan dan pelatihan aparatur tidak cukup jika hanya menekankan aspek teknis. Yang lebih penting adalah membangun kapasitas berpikir reflektif, etis, dan humanistik. Filsafat administrasi dapat menjadi fondasi intelektual untuk membentuk kesadaran semacam itu kesadaran bahwa melayani publik bukan sekadar rutinitas, melainkan panggilan moral.

Birokrasi yang sehat lahir dari pikiran yang jernih. Sebelum menata struktur, kita harus menata cara berpikir. Sebelum memperbaiki sistem, kita harus memperkuat kesadaran. Reformasi birokrasi yang berkelanjutan hanya bisa tumbuh dari refleksi mendalam bahwa birokrat bukan sekadar bagian dari mesin pemerintahan, tetapi manusia yang memikul amanah publik. Menata birokrasi tanpa menata pikiran ibarat memperbaiki rumah tanpa memperkuat fondasi. Bangunan itu mungkin tampak kokoh, tetapi mudah retak ketika diterpa krisis kepercayaan.

Editor : Muri Setiawan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut