Pemekaran Daerah : Apakah Murni Aspirasi Masyarakat atau Justru Menjadi Alat Kepentingan Politik?

Tidak jarang, dorongan pemekaran muncul bukan karena kebutuhan pelayanan publik, tetapi sebagai cara untuk memperluas jaringan kekuasaan dan pengaruh politik. Aspirasi masyarakat pun menjadi slogan yang dikemas rapi untuk mendapatkan legitimasi.
Ironisnya, banyak daerah hasil pemekaran justru menghadapi masalah serius dalam tata kelola pemerintahan. Studi menunjukkan bahwa sebagian besar DOB mengalami kesulitan dalam membiayai operasional pemerintahan karena bergantung pada dana transfer pusat.
Banyak di antaranya gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan, bahkan terjerumus dalam permasalahan korupsi dan pemborosan anggaran. Infrastruktur dasar seringkali terbengkalai, pelayanan publik tidak optimal, dan ketimpangan antar wilayah malah semakin lebar.
Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran tanpa perencanaan matang justru menimbulkan beban baru bagi negara. Alih-alih menjadi solusi, pemekaran daerah yang berorientasi politik justru memecah perhatian, melemahkan konsolidasi sumber daya, dan menciptakan birokrasi yang gemuk tetapi tidak efektif.
Tidak heran jika pemerintah sempat memberlakukan moratorium pemekaran daerah sejak 2014 sebagai bentuk evaluasi terhadap praktik pemekaran yang tidak terkendali.
Di sisi lain, kita tidak bisa menafikan adanya aspirasi masyarakat yang tulus dan mendesak untuk pemekaran daerah. Banyak wilayah terpencil yang merasa terpinggirkan dan tidak terlayani dengan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah induknya.
Jarak geografis yang jauh, akses jalan yang buruk, hingga minimnya fasilitas kesehatan dan pendidikan menjadi alasan kuat bagi masyarakat untuk mengajukan pemekaran.
Aspirasi semacam ini harus dihormati dan direspons dengan bijak, bukan sekadar ditolak atau diabaikan. Karena itu, reformasi dalam kebijakan pemekaran daerah menjadi sangat penting.
Editor : Haryanto