Pemekaran Daerah : Apakah Murni Aspirasi Masyarakat atau Justru Menjadi Alat Kepentingan Politik?

PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Pemekaran daerah telah menjadi fenomena yang mewarnai wajah pemerintahan di Indonesia sejak era reformasi bergulir. Dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan lahirnya ratusan daerah otonom baru (DOB) yang diharapkan menjadi solusi bagi ketimpangan pembangunan dan upaya mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat.
Namun, di balik semangat pemekaran, muncul pertanyaan mendasar: apakah pemekaran daerah benar-benar lahir dari aspirasi murni masyarakat atau justru menjadi alat politik bagi segelintir elit?
Secara teoritis, pemekaran daerah diatur dalam kerangka hukum yang jelas, terutama melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 23 Tahun 2014 ini menekankan bahwa pemekaran harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik kewilayahan, serta mempertimbangkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, pemekaran harus didasarkan pada aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui mekanisme resmi, seperti musyawarah dan persetujuan DPRD. Namun, realitas di lapangan seringkali berbeda.
Aspirasi masyarakat kerap kali hanya menjadi alasan formal yang digunakan untuk mengesahkan pemekaran, sementara agenda politik dan kepentingan elit lokal justru menjadi pendorong utama.
Banyak kasus menunjukkan bahwa pemekaran daerah seringkali dipicu oleh kepentingan politik jangka pendek, misalnya menjelang pemilu atau sebagai bagian dari "bagi-bagi kue kekuasaan."
Daerah baru berarti peluang baru: jabatan baru untuk kepala daerah, DPRD, hingga pejabat birokrasi. politisasi pemekaran daerah.
Menjelang momentum politik tertentu, di mana isu pemekaran diangkat sebagai janji kampanye untuk menarik dukungan pemilih. Setelah pemilu usai, komitmen untuk membangun daerah baru seringkali melemah, meninggalkan masyarakat dalam kekecewaan.
Tidak jarang, dorongan pemekaran muncul bukan karena kebutuhan pelayanan publik, tetapi sebagai cara untuk memperluas jaringan kekuasaan dan pengaruh politik. Aspirasi masyarakat pun menjadi slogan yang dikemas rapi untuk mendapatkan legitimasi.
Ironisnya, banyak daerah hasil pemekaran justru menghadapi masalah serius dalam tata kelola pemerintahan. Studi menunjukkan bahwa sebagian besar DOB mengalami kesulitan dalam membiayai operasional pemerintahan karena bergantung pada dana transfer pusat.
Banyak di antaranya gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan, bahkan terjerumus dalam permasalahan korupsi dan pemborosan anggaran. Infrastruktur dasar seringkali terbengkalai, pelayanan publik tidak optimal, dan ketimpangan antar wilayah malah semakin lebar.
Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran tanpa perencanaan matang justru menimbulkan beban baru bagi negara. Alih-alih menjadi solusi, pemekaran daerah yang berorientasi politik justru memecah perhatian, melemahkan konsolidasi sumber daya, dan menciptakan birokrasi yang gemuk tetapi tidak efektif.
Tidak heran jika pemerintah sempat memberlakukan moratorium pemekaran daerah sejak 2014 sebagai bentuk evaluasi terhadap praktik pemekaran yang tidak terkendali.
Di sisi lain, kita tidak bisa menafikan adanya aspirasi masyarakat yang tulus dan mendesak untuk pemekaran daerah. Banyak wilayah terpencil yang merasa terpinggirkan dan tidak terlayani dengan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah induknya.
Jarak geografis yang jauh, akses jalan yang buruk, hingga minimnya fasilitas kesehatan dan pendidikan menjadi alasan kuat bagi masyarakat untuk mengajukan pemekaran.
Aspirasi semacam ini harus dihormati dan direspons dengan bijak, bukan sekadar ditolak atau diabaikan. Karena itu, reformasi dalam kebijakan pemekaran daerah menjadi sangat penting.
Pertama, pemerintah perlu memperketat kriteria pemekaran dengan mengedepankan kajian akademik yang mendalam dan melibatkan partisipasi masyarakat secara nyata, bukan sekadar formalitas.
Aspirasi masyarakat harus dipastikan benar-benar berasal dari kebutuhan riil, bukan rekayasa politik lokal.
Kedua, perlu ada mekanisme evaluasi yang ketat terhadap daerah-daerah hasil pemekaran, baik dari sisi tata kelola pemerintahan, peningkatan kesejahteraan, maupun dampaknya terhadap lingkungan dan keberlanjutan pembangunan.
Ketiga, opsi alternatif selain pemekaran, seperti penguatan kewenangan daerah eksisting, peningkatan infrastruktur, atau pembentukan unit pelayanan teknis di daerah terpencil, harus dikaji sebagai solusi yang lebih tepat dibanding pemekaran administratif.
Pemekaran daerah seharusnya menjadi instrumen untuk menciptakan pemerataan pembangunan, memperkuat pelayanan publik, dan memperluas ruang partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.
Namun, ketika pemekaran lebih banyak digerakkan oleh kepentingan politik dibanding kebutuhan riil masyarakat, kita justru sedang menciptakan masalah baru dalam tata kelola negara.
Saatnya kita mengembalikan semangat pemekaran kepada tujuan awalnya: membangun daerah untuk kepentingan rakyat, bukan sekadar memperluas kekuasaan panggung politik. Jika tidak, pemekaran daerah hanya akan menjadi simbol keberhasilan semu tanpa makna substantif bagi rakyat.
Editor : Haryanto