YANG kita ketahui Indonesia adalah Negara hukum yang terdapat dalam pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Sebagai negara hukum, penegak hukum yang tidak memihak sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Karena Indonesia adalah negara hukum, maka Indonesia di tuntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip yang dijalankan negara hukum sesuai undang-undang yang berlaku. Pancasila sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara, Pancasila merupakan ideologi yang berisi 5 prinsip Salah satunya adalah yang terdapat dalam pancasila yaitu sila ke 5 yang berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan hal ini bahwa rakyat Indonesia berhak memperoleh keadilan tanpa terkecuali, tidak pandang bulu ,entah itu pejabat ataupun rakyat kecil. Sila ini merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara karena keadilan merupakan suatu rata yang saling menguntungkan satu sama lain.
Tetapi apakah keadilan itu terjalankan?
Sudah diketahui bahwasanya Indonesia adalah negara yang kurang dalam keadilannya. Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Rakyat biasa yang ketahuan melakukan tindakan kecil langsung ditangkap dan dijebloskan kepenjara, Sedangkan seorang pejabat Negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik Negara dapat berkeliaran dengan bebas.
Banyak sekali terjadi ketimpangan keadilan di Indonesia. Salah satu contoh kasus dimasa pandemi ini adalah kasus Rachel Vennya yang dibebaskan dari hukuman karena selama persidangan berlangsung Rachel bersifat sopan. Padahal apa yang dilakukannya merugikan banyak orang dan Rachel pun sudah melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Terdapat lagi contoh kasus yang sempat menyita perhatian masyarakat Indonesia pada Tahun 2015 yaitu kasus hukum yang menimpa seorang nenek berusia 63 tahun Dia adalah Nenek Asyani yang divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 ribu subsider 1 hari hukuman percobaan. Nenek Asyani divonis bersalah setelah ia didakwa mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dijadikan tempat tidur, tetappi ia membantah dan mengatakan bahwa batang pohon jati yang ia tebang diambil dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya 5 tahun silam.
Sedangkan Berbeda dengan penanganan skandal Bank Century yang merugikan negara Rp6,7 triliun yang hingga kini tak jelas ujung pangkalnya. Sebenarnya masih banyak lagi kasus di Indonesia ketidakadilan hukum yang belum selesai diusut atau sengaja dihilangkan oleh pemerintah masa itu. Karena ketidakadilan hukum Indonesia akan memperburuk citra bangsa itu sendiri.
Contoh kasus lainnya dalam penangan kasus para koruptor ,yaitu terhadap ketua DPRD Bengkalis, Heru Wahyudi. Meski terbukti bersalah melakukan korupsi dana bansos, dia hanya divonis 18 bulan penjara. Padahal Sebelumnya jaksa menuntut Majelis Hakim menghukum Heru dengan pidana penjara delapan tahun enam bulan. seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan hukuman paling ringan 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun atau penjara seumur hidup, bahkan jika dilakukan dalam keadaan tertentu seperti pada saat terjadi suatu bencana maka dapat dituntut hukuman mati.
Dari kasus ini keadilanpun tidak terjalankan dan hal itu akan membuat para koruptor terus bermunculan, peran hakim mungkin haruslah adil dalam menjalankan profesinya dengan menetapkan tersangka sesuai pasalnya.
Selain itu hakim berperan penting dalam penegakan hukum di pengadilan yang dituntut untuk dapat melakukan berbagai upaya untuk menggali dan menemukan hukum seperti yang telah tercantum di dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. untuk itu hakim diharapkan dapat menggali dan menafsirkan undang-undang untuk menciptakan hukum yang memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum kepada masyarakat dan pencari keadilan.
Bertanggungjawab bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya. Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan.
Menurut pendapat penulis, mari kita bangun Hukum yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya, Sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara kalangan para pejabat dengan rakyat yang membuat hukum itu menjadi kuat,teguh,dan kokoh sehingga tidak ada lagi ketidakadilan hukum di Indonesia ini. Dan berharap sistem birokrasi pemerintahan dapat melakukan reformasi dan pembersihan anggota yang sudah jelas -jelas melakukan tindak pidana korupsi agar dijerat sesuai pasal yang berlaku dan juga bisa dilakukan dengan cara melakukan tindakan- tindakan tegas, dengan cara radikal tanpa pandang bulu tentunya, sehingga tidak ada lagi ketidakadilan di negeri ini.
Jika ketidakadilan terus menerus terjalankan hal itu tampaknya membuat para pelaku tak takut untuk melakukan kecurangan, karena terlihat dari kasus korupsi yang masih saja bermunculan. Serta pentingnya membangun keterampilan sesuai dengan nilai-nilai integritas yang diakui secara bersama guna memutus mata rantai korupsi yang dapat dicegah dari sekarang dan mendukung keadilan di Indonesia ini agar menjadi negara yang adil terhadap rakyatnya. (**)
**) Artikel dari Famelinda Carera, Mahasiswa FH UBB
Editor : Muri Setiawan