INVASI Rusia ke Ukraina, meningkatkan risiko perang nuklir antara negara adidaya, Rusia dan Amerika. Para ilmuwan memperkirakan jika perang nuklir sampai terjadi, merupakan cikal bakal menjadi awal kiamat bagi bumi.
Dilansir Live Science, Sabtu (12/8/2022), Federasi Ilmuwan Amerika menyebutkan, Rusia dan AS memiliki 90% senjata nuklir dunia. Rusia memiliki 1.588 senjata nuklir dan Amerika Serikat memiliki 1.644 hulu ledak nuklir.
Rusia juga memiliki rudal antarbenua dengan jangkauan sekitar 5.500 kilometer dan pangkalan pembom berat dengan pesawat pengebom yang mampu membawa dan menjatuhkan muatan nuklir, begitu juga dengan AS.
Perang nuklir skala penuh di Ukraina dapat dengan mudah mewakili peristiwa kepunahan bagi umat manusia. Bukan hanya karena kematian awal tetapi juga karena dampak global pendinginan yang disebut musim dingin nuklir.
Menurut perhitungan James Martin Center for Nonproliferation Studies, 30% hingga 40% persenjataan AS dan Rusia terdiri dari bom yang lebih kecil. Ini adalah senjata termonuklir yang memiliki jangkauan kurang dari 500 kilometer di darat dan kurang dari 600 kilometer melalui laut atau udara.
Senjata-senjata ini masih akan memiliki dampak yang menghancurkan di dekat zona ledakan, tetapi tidak akan menciptakan kiamat nuklir global terburuk.
Menurut Union of Concerned Scientists, bom termonuklir telah diuji tetapi tidak pernah digunakan dalam perang. Berdasarkan uji coba itu diketahui kalau bom termonuklir menghasilkan panas setara suhu di pusat matahari.
Bom nuklir yang diledakkan akan membunuh sekitar 50 persen orang dalam radius 3,2 kilometer. Sebagian lagi tewas akibat tertimbun bangunan yang hancur dari efek ledakan dahsyat. Mereka yang selamat akan membawa debu radioaktif dari bom termonuklir yang memungkinkan dampak global lainnya.
Risiko terparah akan terjadi dalam 48 jam setelah ledakan. Pada 48 jam setelah ledakan, area yang awalnya terpapar 1.000 roentgen (satuan radiasi pengion) per jam. Memang radiasi akan mengalami penurunan hingga 10 roentgen per jam namun tetap dalam skala berbahaya, menurut buku "Nuclear War Survival Skills" terbitan Oak Ridge National Laboratory cetahan tahun 1987.
Sekitar setengah dari orang yang mengalami dosis radiasi total sekitar 350 roentgen selama beberapa hari kemungkinan besar meninggal karena keracunan radiasi akut. Sedangkan mereka yang selamat akan menderita kanker sepanjang sisa hidupnya.
Menurut ICRC, rumah sakit khusus di Hiroshima dan Nagasaki telah merawat lebih dari 10.000 orang yang selamat dari ledakan tahun 1945, sebagian besar meninggal karena kanker.
Tingkat leukemia pada korban yang terpapar radiasi empat sampai lima kali tingkat tipikal dalam 10 sampai 15 tahun pertama setelah ledakan.
Di samping bahaya radiasi, bencana lingkungan juga akan menjadi momok buruk jika perang nuklir pecah di Ukraina. Apalagi negara tersebut menghasilkan 10% gandum dunia yang bisa jadi lahan pertanian mereka kejatuhan limbah radioaktif.
Michael May, Wakil Direktur Emeritus di Pusat Keamanan dan Kerjasama Internasional Universitas Stanford mengatakan, gandum yang terkontaminasi itu jika terkirim ke negara lain bisa menimbulkan masalah jangka panjang seperti kanker.
"Radioaktif yodium, bisa menjadi masalah. Sapi mengkonsentrasikan yodium dalam susu yang dihasilkan dan anak-anak yang meminum susu tersebut akan menderita kanker tiroid," kata May.
Abu dan jelaga yang disuntikkan ke atmosfer selama perang nuklir dapat memiliki efek serius pada iklim jika cukup banyak bom yang dijatuhkan. Jika 100 senjata nuklir diledakan akan menurunkan suhu global di bawah Zaman Es Kecil yang terjadi sekitar tahun 1300 hingga 1850.
Menurut sebuah analisis tahun 2012 yang diterbitkan dalam The Bulletin of the Atomic Scientists, perubahan iklim yang menurnkan suhu hinga 2 derajat celcius akan berdampak besar pada pertanian dan persediaan makanan dunia.
Zaman Es Kecil menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan pada saat populasi global kurang dari sepertujuh dari sekarang.
Ready.gov merekomendasikan untuk menyimpan persediaan makanan yang cukup untuk jangka panjang jika ingin selamat dari perang nuklir.
Editor : Muri Setiawan