PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, setiap tanggal 17 Agustus diperingati dengan antusiasme dan semangat untuk mengenang momen penting ketika proklamasi kemerdekaan diumumkan oleh Soekarno dan Hatta.
Salah satu momen yang menjadi sorotan adalah detik-detik proklamasi yang diiringi oleh dentuman meriam sebanyak 17 kali. Namun, di balik tradisi ini, ada satu sosok yang memiliki peran penting: Siti Dewi Suryo Sutan Assin, atau lebih akrab disapa Titik.
Mengenal Siti Dewi Suryo Sutan Assin
Lahir pada tanggal 5 Oktober 1926 di Manado, Sulawesi Utara, Siti Dewi Suryo Sutan Assin memiliki peran istimewa dalam peringatan detik-detik proklamasi. Ia adalah salah satu dari lima anggota Paskibraka pertama, kelompok yang bertanggung jawab atas pengibaran Bendera Pusaka dalam upacara peringatan 17 Agustus 1946 di Yogyakarta.
Mayor (Laut) Husein Mutahar, ajudan Presiden Soekarno, adalah otak di balik pembentukan Paskibraka dan memberikan peran istimewa kepada Siti Dewi sebagai pembawa nampan yang menerima Bendera Pusaka dari presiden.
Pada saat upacara bersejarah di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta, Siti Dewi Suryo Sutan Assin memegang peranan kunci sebagai pembawa nampan. Ia dengan elegan dan cerdas menerima Bendera Pusaka dari presiden Indonesia, menjadi simbol kehormatan dan penghargaan terhadap bendera yang mewakili kemerdekaan.
Peran Titik sebagai pembawa baki pertama ini tidak hanya sekadar seremonial, tetapi juga mengandung makna mendalam dalam menjaga simbol-simbol nasional.
Pilihan Husein Mutahar untuk memilih Siti Dewi Suryo Sutan Assin sebagai pembawa nampan mengandung makna simbolis yang kuat. Penampilannya yang memukau dan kecerdasannya mencerminkan semangat nasionalisme dan perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Mutahar begitu terkesan dengan Titik sehingga ia selalu mengingat namanya dan menganggapnya sebagai bagian integral dari Paskibraka yang menjadi perwakilan dari berbagai daerah di Indonesia.
Setelah perannya dalam upacara peringatan 17 Agustus 1946, Siti Dewi Suryo Sutan Assin melanjutkan hidupnya dengan penuh dedikasi terhadap pendidikan dan masyarakat. Ia aktif sebagai relawan di Palang Merah dan kepanduan serta terlibat dalam kegiatan sosial.
Setelah menikah dengan Atmono Suryo, seorang diplomat Indonesia, ia mendampingi suaminya dalam tugas-tugasnya di berbagai negara.
Siti Dewi Suryo Sutan Assin wafat pada tanggal 20 Desember 2000 di Jakarta dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet, Jakarta Pusat. Warisannya tidak hanya berupa peran pentingnya dalam detik-detik proklamasi, tetapi juga semangatnya dalam mendukung pendidikan dan masyarakat. Ia merupakan contoh nyata dari semangat kebangsaan dan pengabdian kepada tanah air yang terus menginspirasi hingga saat ini.
Editor : Muri Setiawan