JAKARTA, lintasbabel.id - Aksi kejahatan penjualan hewan langka dan dilindungi, kembali viral di media sosial (medsos). Kali ini aksi tak terpuji ini dilakukan oleh pemilik akun Instagram @juragan_insyaf.
Dalam postingannya, tampak beberapa hewan yang dijual, seperti orangutan dan satwa lainnya. Akun yang diikuti lebih dari 4.000 pengikut itu, dalam bionya menuliskan, "Ready stok, siap kirim sepulau Jawa. Ragu transaksi siap pake jasa rakber. Garansi barang sehat dan sesuai seperti chat di awal."
Aksi ilegal tersebut memicu respon dari Ketua Animal Defenders Indonesia (ADI) Doni Herdaru. Dia mengaku, sudah mencoba melaporkan kasus ini ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK).
Doni mendesak kasus pidana penjualan satwa langka yang dilindungi ini diusut pihak kepolisian.
"Polisi pun bisa menangkap dan mengusut jaringan penjualan satwa dilindungi," katanya.
Sementara, pakar hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menyebut, penjualan satwa liar dan langka di media sosial melanggar ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik (ITE).
Perbuatan hukum yang dilakukan adalah dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan/atau media elektronik lainnya.
Menurut Suparji, maraknya jual beli satwa dilindungi berpotensi hilangnya kemampuan adaptasi hewan tersebut karena hidup di luar habitatnya. Bahkan berpotensi hewan tersebut tidak terurus maupun mengalami kematian sehingga akan menggangu ekosistem alam hayati.
Aksi tersebut juga melanggar ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
"Dalam Pasal 1 Undang-Undang Konservasi Hayati terdapat pengertian satwa liar yang merupakan semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia," katanya.
Suparji mengungkapkan, regulasi tersebut muncul selain untuk melindungi satwa liar dan langka dari kepunahan, juga sebagai suatu konsekuensi dari ratifikasi perjanjian internasional.
Pemerintah Indonesia juga sudah menyetujui perjanjian tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1987 tentang Pengesahan Amandemen 1979 Atas Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild.
"Jenis satwa liar yang dilindungi tersebut masuk dalam kategori satwa yang dilindungi oleh Convention on International Trade of Endangered Species atau disingkat dengan CITES. Perjanjian perdagangan internasional ini mengatur tentang dilarangnya memperdagangkan tumbuhan serta satwa yang dilindungi," katanya.
Terkait dengan jual beli satwa liar yang dilindungi tersebut, Suparji mendesak agar pihak kepolisian turun tangan menangani masalah tersebut.
"Karena perbuatan melanggar hukum tersebut merupakan tindakan yang dilarang. Dalam hukum pidana yang berkembang di Indonesia terdapat asas tentang pertanggung jawaban yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan(geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens rist rea)," ujarnya.
Asas tersebut menjadi dasar sebuah kesalahan dalam pertanggung jawaban pidana di Indonesia. Selanjutnya, dalam Pasal 20 UD Konservasi Hayati dikelompokan dalam jenis satwa yang dilindungi dan satwa yang tidak dilindungi.
Adapun untuk hewan yang dilindungi apabila diperjual belikan secara ilegal, diancam dalam Pasal 21 ayat (2) UU Konservasi Hayati, berbunyi setiap orang dilarang untuk:
a) Mengambil, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa liar yang dilindungi dalam keadaan hidup
b) Menyimpan memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati
c) Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ketempat lain baik didalam maupun diluar Indonesia
d) Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa uang dilindungi atau barang-barang yang terbuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam maupun diluar Indonesia), mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan, atau memiliki telur dan/ atau sarang satwa yang dilindungi.
"Dengan ancaman pidananya penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta atau dapat dipidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp50 juta," kata Suparji.
Namun, ada pengecualian dari perdagangan hewan liar tersebut apabila subjek hukum tersebut memliki izin resmi serta prosedur kepemilikan satwa liar yang dilindung yang seharusnya dimiliki oleh setiap calon pemilik satwa liar.
Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 Kepmenhut Nomor 277/Kpts-II/2003 Tahun 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, yakni sebagai berikut:
a) Hanya dapat dilakukan untuk tujuan pengkajian, penelitian dan pengembangan dan pengembangbiakan.
b) Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Menteri Kehutanan yang memuat di antaranya informasi mengenai jenis, jumlah, jenis kelamin, umur atau ukuran dan wilayang pengambilan serta dilengkapi dengan rencana kerja atau proposal dengan tembusan kepada Dirjen dan otoritas keilmuan.
c) Dalam hal permohonan tidak dilengkapi dengan rekomendasi dari otoritas keilmuan, maka Dirjen meminta rekomendadi dari otoritas keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak akan merusak populasi dihabitat alam.
d) Berdasarkan permohonan dan penilaian kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c, menteri dapat menyetujui atau menolak menerbitkan izin berdasarkan saran dari direktur jenderal dan rekomendasi dari otoritas keilmuan bahwa pengambilan atau penangkapan yang dimohonkan tidak akan merusak populasi di habitat alam. Selain itu terdapat juga prosedur perizinan yang diterbitkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait