KETURUNAN Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam disebut dengan Dzurriyatun Nabi (Zuriyah Rasul). Banyak orang mengatakan keturunan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam banyak terdapat di Yaman, sebuah negara di Jazirah Arab yang berbatasan dengan Laut Arab di sebelah selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah barat, Oman di sebelah timur dan Arab Saudi di sebelah utara. Orang-orang Arab dan Dzurriyah Nabi, termasuk di Indonesia, sebagian besar berasal dari negara ini.
Benarkah Yaman adalah negara yang paling banyak dihuni keturunan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam?
Yaman dikenal sebagai kampungnya Dzuriyyah Nabi karena di negara ini anak cucu keturunan Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam paling banyak bermukim dan mengemban misi dakwah.
Dzurriyah Nabi atau dikenal dengan istilah Habib ini melekat pada Hadhramaut, sebuah wilayah di Yaman Selatan.
Menurut Habib Zein bin Umar, orang-orang Hadhramaut Yaman dari golongan Sayyid datang ke Nusantara lewat Muhammad al Faqih Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath. Merunut silsilah dan sejarah keluarga, keturunan Nabi yang pindah ke Hadhramaut dari Basrah ialah Ahmad al Muhajir (generasi ke-8 dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra).
Di Indonesia, anak cucu keturunan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam ini biasa dijuluki Habib (Habaib untuk jamak), Syed atau Sayyid. Sedangkan untuk perempuan biasanya dipanggil Syarifah atau Sayyidah.
Diketahui bahwa Habib dalam bahasa Arab bermakna orang yang dicintai. Julukan ini cukup populer di kalangan orang Indonesia dan Malaysia sebagai sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam melalui nasab dari Sayyidah Fathimah az-Zahra (putri Nabi Muhammad) dan suaminya Ali bin Abi Thalib.
Para Habaib yang menetap di Indonesia dan keturunananya menjadi warga negara Indonesia (WNI) mayoritas adalah keturunan Sayyidina Hussein bin Ali. Menurut lembaga pencatat nasab dan silsilah para Habib di Indonesia, Ar-Rabithah Alawiyah, ada sekira 20 juta orang di seluruh dunia yang menyandang gelar Habib dari 114 marga.
Dai yang belajar Tafsir Alquran dan Hadits di Universitas Al-Azhar Cairo, Ananda Alhafidz, dilansir dari Quora mengatakan, bagi kalangan Sayyid, nama Zein Umar bin Smith tidak asing lagi. Beliaulah ketua umum organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam di Indonesia bernama Rabithah Alawiyah.
Bagi Anda yang tergolong Sayyid atau segaris keturunan Nabi, lembaga inilah yang bakal mengeluarkan buku nasab (keturunan) Nabi. Buku ini semacam sertifikat yang isinya silsilah keluarga dalam aksara Arab gundul yang jika dirunut ke atas bakal bertemu dengan Sayyidah Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah.
Asal Mula Habib di Indonesia
Sebagaimana diungkapkan Habib Zein bin Umar, anak keturunan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam yang ada di Indonesia berasal dari Hadhramaut Yaman lewat Muhammad al Faqih Muqaddam bin Muhammad Shahib Mirbath. Keturunan Nabi yang pindah ke Hadhramaut dari Basrah ialah Ahmad al Muhajir (generasi ke-8 dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra).
Beliau pergi bersama keluarganya. Sementara saudaranya, Muhammad bin Isa, tetap di Irak di masa pemerintahan Khalifah Abbassiyah. Sebelum ke Yaman, Zurriyah Nabi yang lebih dikenal Al Imam Ahmad bin Isa ini semula hijrah ke Madinah dan Makkah, sekira tahun 896 Masehi, di dekat makam buyutnya.
Alasan kepindahannya karena saat itu ada banyak fitnah bahwa keturunan Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bakal mengambil alih kekuasaan. Fitnah ini membuat pemerintah yang berkuasa saat itu cemas sehingga banyak keturunan Nabi diburu bahkan dibunuh.
Imam Ahmad bin Isa tidak mau anak-anaknya terlibat dalam keruwetan politik, akhirnya dia bicara dengan saudaranya, Muhammad bin Isa, bahwa saya akan hijrah.
Hadhramaut, sebuah lembah yang cukup subur untuk ukuran negeri Yaman, tetap saja suatu negeri miskin, kering kerontang, dan tidak ada apa-apa, demikian kata Habib Zein. "Dia memikirkan supaya anak dan keturunannya memegang agama dengan murni, tidak terkontaminasi segala macam masalah politik."
"Zaman itu Hadhramaut dihuni penduduk lokal yang tidak memegang mazhab seperti kita. Ahmad bin Isa berdakwah di situ. Dia mendapatkan perlawanan-perlawanan, penolakan-penolakan yang cukup keras sehingga terjadi friksi, sampai dia mendapatkan murid dan pengikut," cerita Habib Zein bin Umar.
Keturunan dari Ahmad al Muhajir inilah hingga Muhammad al-Faqih Muqaddam yang pergi ke Asia Tenggara dan Nusantara. "Dari tiga golongan orang-orang Hadhramaut yakni Sa'adah, Masyaikh, Qabail, kita lebih mengenal Sayyid. Golongan ini yang kemudian kita kenal juga dengan panggilan Habib," kata Habib Zein seraya meluruskan istilah Habib.
"Seharusnya kita harus bisa memilah antara Sayyid dan Habib. Apakah dia benar-benar baik, mengajar dengan ilmu dan akhlaknya juga baik, dan dia menjadi panutan?" Salah kaprah antara Habib dan Sayyid ini jadi perhatian Habib Zein.
Ia memberi catatan, tidak semua Sayyid bisa dipanggil Habib. Sebaliknya, setiap Sayid sudah pasti segaris keturunan Nabi. "Sekarang titel Habib itu terjadi degradasi, menjadi panggilan keakraban, untuk akrab," ujarnya.
Habib Zein bin Umar bin Smith berbicara mengenai sejarah orang-orang Hadhramaut dan bagaimana organisasi Rabithah Alawiyah, yang dibentuk pada 1928 di Batavia, dijalankan hingga kini. Dalam keterangannya seperti diceritakan Ustadz Ananda Alhafidz, keturunan Muhammad al Faqih Muqaddam, dibagi menjadi dua.
Sosok yang banyak dikenal Syekh Abu Bakar, keluarga Al Attas, keluarga Al Habsy. Satu lagi dari ami (ibu) Faqih Muqaddam itu keluarga seperti Al Hadad, bin Smith –itu semua dari Amir Faqih. Kebanyakan keturunan Faqih Muqaddam masih di Hadhramaut, banyak yang hijrah ke arah India. Mereka ada di Gujarat, dan keturunan inilah yang masuk ke Indonesia lewat Aceh.
Melalui keturunan ini ada juga yang pergi ke Thailand dan Kamboja –ini kebanyakan keturunan dari Abdul Malik. Dikarenakan Abdul Malik itu diangkat mantu oleh raja, dia mendapat titel Al Ahmad Khan. Pergi ke Indonesia lewat Aceh, lalu turun ke Palembang dan kemudian ke Jawa. Keluarga Ahmad Khan ini yang menurunkan Walisanga.
Di Indonesia, para keturunan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam ini masuk dengan pendekatan kultur lokal. Diikuti, lalu sedikit-dikit digeser, sehingga tidak terjadi peperangan termasuk masuk kepada kesultanan-kesultanan. Maka jadilah Islam di Nusantara tanpa menumpahkan darah. Diakui sebagai dakwah paling efektif yang pernah ada di dunia. Semuanya bisa lihat, masuk tanpa peperangan.
Dengan perkembangan ini, lalu keturunan-keturunan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam ini berasimilasi dengan penduduk setempat. Karena para keturunan Alawiyin dari Haddramaut (keturunan dari Ahmad al-Muhajir) yang datang ke sini, pada saat hijrah, ada yang tidak membawa istrinya, ada yang masih bujang. Kemudian menikah dengan orang-orang setempat.
Ini kemudian menjadi satu kesatuan yang sempurna. Lalu keturunan-keturunan ini menjadi bagian bangsa ini. Mereka menghormati penduduk lokal dengan sebutan kalimat saudara ibu. Keturunan Rasul, kalau di kalangan keturunan Sayyidina Hasan, dikenal Syarif.
Tetapi di kalangan Sayyidina Husein disebut Sayyid, kalau jamaah namanya Sa'adah. Seiring berkembangnya waktu, kebanyakan Sayid ini dicintai oleh lingkungannya, dicintai oleh murid-muridnya, kemudian dipanggilah dengan sebutan Al Habib. Al Habib itu artinya "yang dicintai".
Akhirnya gelar Sayyid-nya mulai hilang, dan berganti dengan julukan Habib. Sementara di beberapa tempat, misal di Aceh, dipanggil Said. Di Malaysia, dipanggil Said. Sebetulnya, habib ini punya kedudukan tertentu, istimewa. Artinya dipanggil habib itu orang yang benar dan dicintai.
Kemudian yang kedua, dia benar menjadi ahli ilmu. Misal, orang biasa dari keturunan mungkin cukup dengan Sayid. Tetapi sekarang titel Habib, karena terjadi degradasi, menjadi panggilan keakraban, untuk akrab. Jadi bukan untuk julukan ulama besar.
"Seharusnya kita bisa memilah antara Sayid dan Habib. Apakah orangnya benar-benar baik, mengajar dengan ilmu dan akhlaknya mulia, dan menjadi panutan? Kalau Sayid ya Sayid, kita dari keturunan. Orang dari keturunan menjadi seperti saya itu bukan pilihan, tetapi ini kodrat dari Allah," papar Habib Zein.
Marga Paling Tua di Indonesia
Siapa yang tertua dari puluhan marga yang ada di Indonesia? Marga tertua dan paling dekat ialah Assegaf. Lalu Assegaf ini tinggi, keturunannya ada Al-Attas. Jadi kalau dilihat, rata-rata keturunan yang ada di Indonesia ini keturunan ke-37 atau ke-38.
Di Indonesia, kalau di Jakarta, paling besar Al-Attas, nomor dua Al-Hadad. Kalau di Surabaya, mungkin yang banyak Al-Jufri. Sekarang dari total 100 lebih marga yang ada di Indonesia, yang masih tersisa hanya 68. Lainnya punah, tidak ada keturunan. Ada yang masih banyak di Indonesia, sementara sudah tidak ada di Hadramaut.
"Marga Baraqbah, misalnya, di sana sudah tidak ada, tetapi di Indonesia banyak. Jadi populasi keturunan para Sayyid itu di Indonesia. Berapa jumlah total keseluruhan? Ini masih kita data. Saya belum bisa memberikan angka pasti, apakah totalnya 500 ribu, apakah 1 juta apakah 1,5 juta, saya belum tahu," jelas Habib Zein.
Tetapi karena kelihatannya besar sekali, setiap orang punya pengaruh besar. Kalau di Jakarta, ada di Tanah Abang, Kampung Melayu, Pekojan, dan yang terbesar di Condet, Jakarta Timur. Karena Condet ini bukan hanya orang Jakarta saja, tetapi banyak juga hijrahan dari Jawa Timur, tinggalnya di Condet, membentuk komunitas (kampung) Arab lebih besar.
Wallahu a'lam bishawab
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait