Memerangi Perilaku Konsumtif dan Sikap Pragmatisme Struktural di Bangka Belitung

Jurnalis Warga
Perilaku konsumtif dan pragmatisme menjadi anak asuh dari borjuasi, sebab masyarakat dengan karakter ini akan lebih muda digembosi dan dikuasai. Foto: Ilustrasi/ MPI.

KEMISKINAN berusaha dicitrakan sedimikian rupa oleh media orang kaya agar tampak biasa dan wajar. Kapitalisme memang memiliki cara kerja yang indah untuk menyembunyikan penindasan yang dilakukannya. Pemilik modal (borjuasi) memanipulasi upaya penguasaan aset masyarakat dan kepemilikan alat produksi dengan pola ganti rugi. Melakukan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dengan dalih kepentingan negeri dan pengembangan teknologi. 

Perilaku konsumtif dan pragmatisme menjadi anak asuh dari borjuasi, sebab masyarakat dengan karakter ini akan lebih muda digembosi dan dikuasai. 

Menurut Setiaji dalam konsumerisme (1995) perilaku konsumtif merupakan kecenderungan seseorang berperilaku berlebihan dalam memiliki sesuatu. Sebagai akibatnya, mereka kemudian membeli barang-barang dengan tidak rasional karena beranggapan dapat menjadi simbol keistimewaan. Negatifnya, dari perilaku konsumtif ini berdampak terhadap kesenjangan sosial yang tinggi serta rentan memicu terjadinya inflasi. 

Alfin Toffler, seorang pakar masa depan pernah meramalkan bahwa manusia akan digoda oleh 3F, yaitu food (makanan), fashion (pakaian) dan fun (kesenangan). Kenyataan bahwa orang tidak mampu membeli suatu barang tetapi dipaksakan untuk kesenangan sesaat telah menjadi rahasia bersama. Keinginan untuk terus memiliki barang yang dianggap mempengaruhi status sosialnya dan terkolaborasi dengan rendahnya semangat untuk melahirkan karya atau produk menjadi anak asuh dari kapitalisme. Barang yang dibeli bukan untuk melahirkan suatu nilai ekonomi baru, melainkan hanya untuk kepuasan individu. Perilaku konsumtif yang melembaga pada kelompok masyarakat akan mendorong lahirnya sikap pragmatisme.

Pragmatisme merupakan sikap yang cenderung pada berpikir dan bertindak praktis dibandingkan manfaat, sikap untuk selalu mencari keuntungan dari berbagai hal 

yang dihadapi untuk diri sendiri atau bagi kelompoknya, sekalipun merugikan banyak pihak. Sehingga mereka yang memiliki prinsip dan sikap ini tidak berjalan di atas nilai kebenaran, mudah berpindah atas keberpihakannya, tergantung pihak mana yang dapat memberikan profit kepada mereka tanpa melihat benar atau salahnya. 

Perilaku konsumtif dan sikap pragmatisme sebagai dampak dari era globalisasi

Era yang mengantarkan manusia berkompetisi dan bergumul memperoleh kekuasaan dan kesenangan duniawi, era yang memaksa setiap orang memikirkan diri sendiri. 

Pragmatisme dianggap sebagai solusi untuk keluar dari kehidupan tradisional menuju kehidupan yang lebih layak. Faktanya justru  perilaku konsumtif dan pragmatisme justru telah menghilangkan  banyak ruang publik hingga nyaris kehilangan kesempatan untuk dapat mewujudkan kemandirian umat. 

Jika kita bersepakat bahwa peradaban suatu bangsa tidak ditentukan hari ini, tetapi sangat dipengaruhi oleh gerak masa lalu. Maka pemuda sebagai pewaris negeri ini harus mengambil langkah-langkah strategis dalam gerak pembangunan peradaban, bukan justru terjebak pada pandangan dan tindakan mayoritas yang menyesatkan. Hadir dengan keistimewaan yang dimiliki pemuda, yaitu idealisme. Idealisme merupakan suatu pengambilan sikap atau pilihan yang selalu berpijak pada nilai kebenaran, objektif, sistematik dan toleran menjadi warna dalam gerak pemuda. 

Terbentuknya perilaku konsumtif dan sikap pragmatisme masyarakat di Bangka Belitung juga menjadi bagian dari peradaban yang terbentuk dari proses rekayasa sosial yang dibangun sejak puluhan tahun lalu. Disebut sebagai perilaku dan sikap yang terstruktur sebab dibentuk melalui proses yang terstruktur. Proses yang dimaksud adalah proses yang melibatkan banyak instrumen dalam proses terbentuknya, termasuk peran lembaga negara. Ciri dari proses pembentukan perilaku konsumtif oleh pemerintah hingga lembaga-lembaga negara lainnya dapat dilihat dengan pelaksanaan program yang cenderung pada 3F yang di sebutkan oleh Alfin Toffler, yaitu Food, Fashion dan Fun.

Upaya-upaya seperti tersebut di atas tentu harus menjadi perhatian bersama, agar prillaku konsumtif dan sikap pragmatisme yang sudah teranjur terbentuk di Bangka Belitung tidak terus mengakar dan menguat. Mengingat kemajuan pembangunan suatu daerah tidak hanya dilihat dari pembangunan infrastruktur, melainkan beriringan dengan pembangunan manusianya, makaprilaku dan sikap ini akan menjadi batu sandungan dan menghambat laju pertumbuhan peradaban. 

Generasi muda sebagai pewaris sah estafeta pembangunan daerah, tentu harus mampu memetakan peradaban atau realitas sosial hari ini untuk kemudian dilanjutkan pada tahapan pembentukan wacana sosial sebagai satu rangkaian utuh iktiar wujudkan tatanan masyarakat yang ideal. Pemuda hadir dalam ruang publik, dengan pikiran kritis yang konsturuktif dalam memerangi hal-hal yang kontra produktif seperti pelaksanaan agenda yang bersifat euforia dan menghambur-hamburkan anggaran pembangunan daerah hanya untuk kepuasan sesaat serta adu gengsi dari para pimpinannya.

Hari-hari ini mata kita jenuh dengan pemandangan akan penyelenggaraan event yang bersifat euforia oleh pemerintah hingga aparat penegak hukum yang tidak sesuai dengan tugas pokok, fungsi serta kewenangannya sesuai dengan amanah undang-undang. Tetapi karena didorong oleh kebutuhan eksistensi hingga adu gengsi, hal semacam ini seolah menjadi trend dan dianggap sebagai solusi untuk menghidupkan roda perekonomian, penjaringan dan pembinaan minat serta bakat tertentu. Padahal negara, sudah membentuk lembaga-lembaga yang khusus untuk tugas-tugas tersebut.

Bukti sebagai penguat argumentasi bahwa agenda-agenda tersebut kontra produktif dalam proses pembangunan adalah tidak adanya keberlanjutan secara mandiri pasca pelaksanaan event tersebut. Karena pada prinsipnya yang dikejar dengan pelaksanaan agenda tersebut adalah pengakuan publlik, bukan membangun kesadaran publik terhadap potensi-potensi yang harus di kembangkan. Implikasinya, tentu perwujudan masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat egaliter menjadi lebih sulit untuk terwujud. 

Melalui tulisan ini, tanpa bermaksud menyalahkan atau menyudutkan siapa pun. Tetapi ini adalah bentuk keyakinan bahwa ada harapan untuk kita semua mampu memerangi perilaku konsumtif dan sikap pragmatisme yang menjadi penghambat laju pertumbuhan peradaban. Tentun catatan-catatan khususnya adalah seluruh komponen harus mengakui dan menyadari realita ini, agar selanjutnya bersama menghentikan egenda yang kontra produktif dan berijtihad untuk memperbaiki perkeliruan yang terjadi dalam proses pembangunan ini. 

Tujuannya tentu tidak lain dan tidak bukan, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial yang dicirikan dengan adanya semangat kemandirian dan kesadaran untuk bergerak dan membangun bersama oleh seluruh elemen masyarakat Bangka Belitung. Semoga! (**)

(**) Artikel ini ditulis oleh Gilang Virginawan, Ketua HMI MPO Cabang Babel Raya.


Gilang Virginawan, Ketua Umum HMI Cabang Bangka Belitung Raya. Foto: Dokumen Pribadi.

 

Editor : Muri Setiawan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network