HARI ibu diperingati publik Indonesia setiap tanggal 22 Desember. Bagaimana hukum merayakan Hari Ibu menurut ajaran agama Islam? Apakah boleh atau dilarang? Berikut ini penjelasannya.
Dikutip dari laman Almanhaj, Rabu (22/12/2021), Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yang merupakan ulama besar di Arab Saudi, rujukan umat Islam dunia, pernah ditanya mengenai hukum merayakan Hari Ibu. Ia pun memberi penjelasan berdasarkan dalil-dalil sahih.
Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan, semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang disyariatkan Islam adalah bid'ah dan tidak pernah dikenal pada masa para salafus shalih. Bisa jadi perayaan itu bermula dari non-Muslim, jika demikian, maka di samping itu bid'ah, juga berarti tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ia menerangkan, hari raya-hari raya yang disyariatkan Islam telah diketahui oleh kaum Muslimin, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha serta hari raya mingguan (hari Jumat). Selain yang tiga tersebut tidak ada hari raya lain dalam Islam.
Semua hari raya selain itu ditolak kepada pelakunya dan bathil dalam hukum syariat Allah Subhanahu wa ta’ala. Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: "Barang siapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak." (HR Al Bukhari dalam kitab Ash-Shulh (2697). HR Muslim dalam kitab Al Aqdhiyah (1718).
Ditolak dan tidak diterima di sisi Allah Subhanahu wa ta'ala. Dalam lafazh lainnya disebutkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya: "Barang siapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak." (Imam Al Bukhari menganggapnya mu’allaq dalam kitab Al Buyu’ dan Al I'tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam kitab Al-Aqdhiyah (18-1718))
Maka itu, maka tidak boleh merayakan Hari Ibu, dan tidak boleh juga mengadakan sesuatu yang menunjukkan simbol perayaannya, seperti menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan, memberikan hadiah-hadiah dan sebagainya.
Hendaknya setiap Muslim merasa mulia dan bangga dengan agamanya serta merasa cukup dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya dalam agama yang lurus ini dan telah diridhai Allah Ta'ala untuk para hambah-Nya. Maka hendaknya tidak menambahi dan tidak mengurangi.
Kemudian hendaknya setiap Muslim tidak menirukan setiap ajakan. Bahkan seharusnya, dengan menjalankan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, pribadinya menjadi panutan yang ditiru, bukan yang meniru, sehingga menjadi suri teladan dan bukan penjiplak, karena alhamdulillah, syariat Allah Subhanahu wa ta'ala itu sungguh sempurna dari segala sisinya. Sebagaimana firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya: "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu." (QS Al Ma’idah: 3)
Seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun, daripada hanya satu hari itu saja. Bahkan seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta ditaati selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala, di setiap waktu dan tempat. (Nur ‘ala Ad-Darb, Maktabah Adh-Dhiya’, halaman 34–35, Syaikh Ibnu Utsaimin)
(Disalin dari buku Al Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini Lc Penerbit Darul Haq)
Wallahu a'lam bishawab
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait