get app
inews
Aa Text
Read Next : Kebijaksanaan Kolektif: Membangun Sistem Hukum yang Responsif dan Berkeadilan Melalui Kearifan Lokal

Hantu Buyut Telah Mati dan Kitalah Pembunuhnya

Senin, 18 Agustus 2025 | 11:52 WIB
header img
Ramsyah Al Akhab (Ketua Komunitas Aksara Muda Bangka Belitung). Foto : istimewa

PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Dulu sewaktu kecil, aku dan teman-teman sering main di hutan dan mandi di sungai-sungainya. Di beberapa sungai, orang-orang tua kami sering menakuti kami dengan hantu Buyut. Sungai itu jadi tampak mistis dan menyeramkan. Jangankan untuk mandi, untuk berkata kotor pun kami tak berani. Mirisnya, kini sungai itu telah rusak dan tercemar oleh penambangan timah ilegal. Kemana Buyut? Barangkali sudah mati.

Berita ini memang tidak muncul di koran-koran, apalagi di media sosial, tapi bukti validnya sangat jelas terlihat. Sungai-sungai Bangka Belitung (Babel) yang rusak dan masyarakat yang arogan dengan alam adalah bukti Buyut telah mati, dan pelakunya adalah kita, masyarakat Babel itu sendiri.

Dalam budaya Babel, Buyut adalah hantu penunggu perairan: sungai, danau, rawa, muara dan laut (dalam tulisan ini, kita akan menggunakan istilah sungai saja biar lebih ringkas). Ia digambarkan sebagai sosok yang menyeramkan dan dianggap suka membuat celaka orang-orang di sungai. 

Menarik orang-orang hingga tenggelam. Sayangnya di masa sekarang, Buyut sudah tersisihkan oleh zaman. Jangankan untuk ditakuti, barangkali masyarakat Babel generasi terbaru tidak mengenal sosok ini. Ia terlupakan, seperti banyak mitos Babel lainnya.

Apakah Buyut hanya sekadar hantu? Barangkali bukan. Buyut lebih dari sosok menyeramkan, ia harus dilihat sebagai simbol ekologis. Oleh karena itu, ayo kita melihat mayat Buyut dan membaca obituarinya: si hantu penjaga sungai Babel yang dibunuh oleh kita.

Buyut Sebagai Penjaga Sungai

Dari kacamata ekologis, Buyut dapat dilihat sebagai sosok penjaga sungai. Hal ini selaras dengan kepercayaan lokal, Buyut diyakini bukan hanya sebagai sosok penghuni sungai tetapi juga penjaganya. Ibarat rumah seseorang, sungai itu adalah rumah bagi Buyut. Adanya sosok mistis tersebut menjadikan sungai sebagai tempat yang sakral dan tidak boleh sembarangan diperlakukan. Tidak boleh berkata kotor, tidak boleh buang kecil dan besar, pohon-pohon di sekitarnya tidak boleh ditebang, apalagi sampai dicemari. 

Menilik dari nilai kearifannya, mitos tentang kemarahan Buyut sebenarnya mengandung pesan untuk menjaga alam. Sama halnya dengan pantang larang yang menjadi cara nenek moyang menyampaikan nilai ekologis tanpa harus menggunakan bahasa ilmiah. Secara metafora, merusak sungai akan membuat Buyut marah. Bukan sebagai hantu menyeramkan yang meneror manusia, tapi sebagai efek dari kerusakan sungai: kekeringan, matinya ikan-ikan, banjir, dsb. Bencana alam inilah kemarahan Buyut secara ilmiahnya. 

Buyut adalah Pengetahuan Ekologis

Jika kita dalami lebih jauh, Buyut bukan sekadar entitas mistis, itu adalah bentuk pengetahuan lingkungan yang diwariskan turun-temurun. Secara teori antropologi, inilah yang disebut Traditional Ecological Knowledge (TEK) atau pengetahuan ekologis tradisional. Nenek moyang kita telah mengetahui pentingnya menjaga sungai. Pengetahuan ini kemudian disampaikan lewat nilai-nilai mistik.

Kenapa lewat mistik? Karena metode ilmiah tidak familiar di zaman dulu, jadi pengetahuan disampaikan lewat cerita mistik yang kemudian termanifestasikan lewat simbol budaya, dalam konteks ini adalah Buyut. Buyut adalah cara nenek moyang untuk menjaga ekosistem. Ia adalah simbol kontrol sosial untuk melindungi sungai dari kerusakan. 

Selaras dengan yang diungkapkan Clifford Geertz (seorang antropolog): "manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring makna yang ia ciptakan sendiri, dan kebudayaan adalah jaring-jaring itu." Dalam hal ini, Buyut adalah jaring makna lokal, simbol sakral yang merepresentasikan hubungan manusia Babel dengan sungainya. Ia bukan hanya hantu, tapi penjaga nilai ekologis yang dibungkus dalam cerita. 

Bagaimana Buyut Mati

Ketika mitos dianggap ketinggalan zaman dan tidak rasional, kita kehilangan makna di baliknya. Pengetahuan lokal praktis tersebut lenyap. Sama halnya dengan Buyut, hanya dianggap sebagai sosok hantu tanpa makna ekologis, sehingga menjadi tidak ilmiah dan kolot. Pantas dibunuh dari peradaban masyarakat Babel.

Mirisnya, pendidikan modern dan agama sering menggantikan peran mitos, tapi tidak selalu menggantikan fungsinya. Buyut digantikan dengan slogan-slogan lingkungan impor, yang bukan jati diri kita. Itu hanya jadi slogan tanpa makna karena jauh dari tingkah laku masyarakat Babel. Kita memiliki pengetahuan tapi tidak memiliki kebijaksanaan.

Kini buyut telah jadi jasad mengapung di sungai-sungai Babel. Akibatnya, sungai tak lagi dianggap sakral dan bisa dirusak sesuka hati. Kematian Buyut bukan kematian sosok hantu, itu adalah kematian nilai-nilai menjaga alam.

Jasad Buyut di Sungai Babel

Coba arahkan pandangan kalian ke sungai-sungai di Babel. Banyak yang telah rusak dan tercemar akibat limbah tambang ilegal. Airnya kotor mengandung lumpur, ikan-ikanya mati, buaya-buaya mengamuk kelaparan dan bakau-bakaunya telah roboh. Di sungai Babel, Buyut tidak lagi ditakuti. Di sungai yang rusak ini lah, jasad Buyut mengapung. Membusuk bersama kutukan yang menanti: banjir, kelaparan, serangan buaya, kekurangan air bersih, dsb.

Faktanya, 15 sungai besar di Babel tercemar oleh aktivitas penambangan timah dan alih fungsi lahan (ini belum termasuk anak sungai), 75% aliran sungai di Kabupaten Belitung tercemar limbah penambangan timah ilegal, 240.000 hektar mangrove telah rusak, Babel masuk lima besar provinsi dengan kontaminasi mikroplastik tinggi yakni ~497 partikel/100 liter air sungai, ini semua adalah bukti bawah Buyut telah mati.

Mari kita jujur, kerusakan ini bukan hanya akibat keserakahan, tapi juga karena kita meninggalkan budaya dan tradisi lokal. Sungai-sungai yang dulu dianggap sakral kini dibiarkan rusak. Buyut si tuan rumah sungai-sungai Babel telah kita bunuh dengan pisau pengetahuan rasional. Jasadnya masih terus mengapung di sungai-sungai yang tercemar dan rusak. 

Menghidupkan Kembali Buyut

Ayo kita tarik jasad Buyut yang mengapung di sungai-sungai tercemar Babel. Kita dihidupkan kembali Buyut, bukan sebagai hantu, tapi sebagai simbol kesadaran ekologis. Buyut harus kita maknai ulang sebagai cara kreatif dalam pendidikan lingkungan. Menjadikannya sebagai Lazarus ekologis. 

Ini memang tidak mudah. Perlu pendekatan budaya berbasis konservasi alam. Melalui seni, ruang sekolah, cerita rakyat, atau kebijakan berbasis adat. Semua orang harus perperan dalam menyusun ulang narasi Buyut menjadi kerangka ekologis yang dibalut daging kebudayaan.

Kita ambil contoh "Subak" di Bali. Ini adalah sistem irigasi tradisional masyarakat yang bukan hanya teknis, tapi berbasis spiritual dan sosial. Air dianggap sebagai anugerah suci, dan pembagiannya diatur oleh lembaga adat (subak) dan dikaitkan dengan pura serta upacara. Hasilnya pengelolaan air sawah yang efisien dan adil, serta pelestarian ekosistem daerah aliran sungai. Buyut memiliki potensi yang sama. Jika kita berani memaknai uang Buyut, menjadikannya sebagai sistem integral dari ekologi Babel, adalah sangat mungkin kita menghidupkan kembali Buyut. 

Pesan dari Buyut

Mungkin kita harus bertanya: siapa sebenarnya hantu itu? Buyut, atau kita yang merusak sungai? (Silahkan dijawab sendiri). 

Barangkali Buyut belum tentu mati, dia hanya diam, menunggu kita sadar kembali. Kita harus percaya, sebagai generasi muda, kita mampu membaca ulang mitos bukan sebagai tahayul, tapi sebagai pesan untuk menjaga alam. Lewat revitalisasi mitos Buyut dalam kurikulum lokal, festival budaya sungai, mural sungai dengan narasi Buyut, dsb.

Editor : Haryanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut