Kelapa Terbelah, Bajing dan Tikus Bersorak-sorai

OPINI : Joko Setyawanto, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Bangka Belitung
PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Hari masih terlalu pagi, bahkan subuh pun belum, ketika sekelompok orang mencoba membelah kelapa dengan berbagai cara. Ada yang ingin menggunakan chainsaw, ada yang ingin memakai parang, ada juga yang ekstrim ingin meremukkannya dengan batu gunung.
Semua tidak ada yang mengalah, semua ingin menggunakan alat dab metodenya masing-masing. Hanya saja mereka lupa, kelapa yang mulai terlihat tak utuh lagi itu, adalah kelapa pilihan rakyat, bukan kelapa sembarangan yang tidak diayomi restu dan takdir.
Banyak alasan, motif, dqn tujuan dari operasi belah kelapa yang dipaksakan ini. Ada yang ingin dan berpikir bahwa sebelah bagian saja jauh lebih baik daripada kelapa utuh. Sebagian lagi bilang jika ada bagian kelapa yang busuk dan hatus segera dipisahkan. Ada pula yang berpendapat kelapa itu tak semestinya bundar atau bulat.
Celakanya lagi, sang buah kelapa justru tidak menyadari, bahkan mungkin menganggap dirinya seekor amuba yang bisa membelah diri. Ia lupa atau mungkin tidak pernah diajarkan di bangku SD-nya bahwa kelapa adalah jenis biji tunggal yang tidak seharusnya dipisahkan.
Ditengah gaduh dan kesibukan mereka menjalankan operasi belah kelapa ini, mereka lupa akan keberadaan dan harapan 1,4 juta jiwa warga Bangka Belitung yang mengerenyitkan dahi sembari memegang periuk (kinceng) nasi yang kosong melompong.
Gosokan dan gesekan yang melemahkan telinga tetus digaungkan. Siapakah penggaungnya? tentu saja para bajing dan tikus yang berharap dengan pecahnya buah kelapa, mereka bisa menikmati serpihannya tanpa dihitung. Apalagi jika pecah berkeping-keping kecil.
Tapi ini bukan tentang buah kelapa. Ini tentang kapasitas dan kedewasaan pemimpin yang ditunggu kinerjanya, bukan sekedar omon-omon bikin ini bikin itu. Pelabuhan ini pelabuhan itu, investor ini investor itu.
Gaduh ini cukup identik dengan pola-pola klasik pemimpin otoriter yang selalu menutupi kekosongan gagasan dan konsep pembangunan dengan menciptakan konflik-konflik pengalih perhatian publik.
Meskipun terlalu mahal karena harus dibayar selama 5 tahun, namun fenomena ini ada manfaatnya bagi pembelajaran politik. Pendewasaan bersikap publik selaku empunya demokrasi.
Cikal-bakal pemimpin harus terkader sejak dini, ditempa dan diuji untuk kemudian disajikan kepada masyarakat pemilik hak suara. Biaya demokrasi yang tidak murah, seyogyanya melahirkan pemimpin berkualitas, berkapasitas, dan berintegritas, bukan sekedar penuh isi tasnya.
Editor : Agus Wahyu Suprihartanto