PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Peristiwa penembakan oleh oknum Brimob Polda Kepulauan Bangka Belitung (Babel), hingga menewaskan warga di wilayah Kabupaten Bangka Barat (Babar) dikecam oleh Koalisi Masyarakat Sipil Babel (KMB). Selain meminta oknum yang melakukan penembakan dihukum tegas, mereka juga mendesak pemerintah melakukan audit terhadap seluruh izin perkebunan monokultur skala besar.
Jenazah korban penembakan Brimob Polda Babel, almarhum Beni saat berada di RSUD Sejiran Setason Bangka Barat. Foto: Istimewa.
Koalisi yang digawangi oleh Walhi Kepulauan Babel dan Sempro UBB ini menilai, perkebunan monokultur seperti kelapa sawit skala besar telah menyebabkan terjadinya konflik agraria, kemiskinan struktural, dan pencemaran lingkungan hidup di Kepulauan Bangka Belitung.
"Muncul untuk kesekian kalinya, polisi main hakim sendiri dan menyalahgunakan wewenang dengan melakukan pembunuhan terhadap warga sipil. Kini korbannya adalah Beni (48), seorang warga Desa Tugang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung yang ditembak hingga tewas oleh anggota Brimob Polda Bangka Belitung pada hari Minggu, 24 November 2024," ujar Ahmad Subhan Hafiz dalam keterangan tertulisnya, yang diterima oleh Lintas Babel, Kamis (28/11/2024).
Dalam keterangannya, Koalisi Masyarakat Sipil Babel menyebut bahwa mulanya korban bersama sejumlah kawannya diduga memanen buah sawit di lahan perkebunan sawit milik PT Bumi Permai Lestari (PT. BPL).
Pemakaman almarhum Beni yang ditembak oknum Brimob. Foto: Lintasbabel.iNews.id/ Oma.
Melihat aksi tersebut, seorang polisi yang berjaga kemudian menembakkan 12 kali tembakan peringatan, yang salah satu pelurunya mengenai bagian punggung korban hingga tewas.
"Penggunaan senjata api yang seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam upaya penegakan hukum, justru digunakan sebagai langkah utama, sehingga menghilangkan nyawa warga sipil yang tidak bersenjata. Selain melanggar hak asasi manusia korban, tindakan tersebut merupakan suatu bentuk pembunuhan di luar hukum (extra-judicial killing)," katanya.
Di samping itu, kata Hafiz, kasus ini tidak bisa diabaikan dari akar persoalan mendasarnya, yaitu ketimpangan struktural agraria. Bangka Belitung merupakan salah satu dari banyak provinsi yang menyediakan kondisi bagi monopoli dan perampasan tanah masyarakat pedesaan, khususnya diperuntukkan pada perusahaan perkebunan skala besar seperti PT BPL.
Warga mengelar aksi di Kantor Desa Berang, Kecamatan Simpang Teritip, Kabupaten Bangka Barat, meminta kasus penembakan terhadap warga mereka oleh oknum Brimob diusut tuntas. Foto: Lintasbabel.iNews.id/ Oma.
"Ketika ketimpangan dan kemiskinan sudah dirasakan banyak orang yang kehilangan akses terhadap tanah, sementara perusahaan perkebunan besar menikmati kekayaan dari luasan tanah yang besar, hal itu biasanya berujung pada konflik agraria. Hal ini diperkuat dengan penemuan WALHI Kepulauan Babel, bahwa Bangka Belitung memiliki 11 catatan kasus konflik agraria di sektor perkebunan kelapa sawit yang melibatkan 25 desa sepanjang 2019-2023," tuturnya.
Tapi, kata dia, penyelesaian konflik agraria di Indonesia sangat buruk. Dalam konteks penanganan oleh aparat kepolisian, penyelesaiannya kerap menggunakan cara-cara represif dalam bentuk intimidasi, kriminalisasi, bahkan pembunuhan.
"Hal ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam internal kepolisian. Apabila pendekatan semacam itu terus dipelihara, maka kasus-kasus seperti melayangnya nyawa Beni dan banyak warga sipil lainnya yang menjadi korban brutalitas aparat akan terus bermunculan," kata Hafiz.
Berikut ini pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil Babel:
1. Mengecam keras tindakan pembunuhan sebagai bentuk extra-judicial killing oleh anggota Brimob Polda Bangka Belitung terhadap warga sipil bernama Beni(48);
2. Menuntut Propam Polda Bangka Belitung untuk menindak tegas dan menghukum pelaku penembakan;
3. Mendesak DPR RI dan Kompolnas RI untuk melakukan evaluasi penggunaan senjata api secara berlebihan terhadap warga sipil, serta mengevaluasi kinerja Polri dan kepemimpinan Polri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kasus-kasus pembunuhan yang terjadi kepada warga sipil;
4. Menuntut Pemerintah Indonesia segera mencabut peraturan perundang-undangan yang memperburuk kasus konflik agraria seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga UU KUHP;
5. Mendesak Pemerintah RI dan Pemprov Bangka Belitung untuk menyelesaikan kasus-kasus konflik agraria secara adil, berpihak pada masyarakat pedesaan yang kehilangan akses terhadap tanah, dan berlandaskan pada amanat UU PA 1960 dan TAP MPR RI No.IX/2001;
6. Mendesak Pemerintah RI melakukan audit terhadap seluruh izin perkebunan monokultur skala besar yang menyebabkan konflik agraria, kemiskinan struktural, dan pencemaranl ingkungan hidup di Kepulauan Bangka Belitung.
Editor : Muri Setiawan