PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Apa arti malam 1 Suro bagi orang Jawa? Bulan Suro dalam penanggalan kalender Jawa, merupakan bulan awal dalam tahun baru. Masyarakat Jawa biasanya merayakan tradisi malam 1 Suro yang bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharram.
Bagi masyarakat Jawa, malam 1 Suro merupakan malam yang sakral. Akan ada berbagai macam kegiatan dengan makna yang berbeda-beda yang diselenggarakan di setiap daerah oleh masyarakat Jawa.
Perayaan malam 1 Suro, tidak terlepas dari budaya Keraton. Malam 1 Suro dianggap merupakan malam yang suci dan penuh dengan rahmat.
Beberapa orang Jawa Islam mempercayai bahwa malam 1 Suro adalah malam dimana setiap individu bisa mendekatkan diri kepada Tuhan agar membersihkan dirinya dari dari hawa nafsu manusiawi.
Oleh karena itu, masyarakat Jawa biasanya melaksanakan upacara tirakat, lelaku, dan penenangan diri. Tak hanya itu, biasanya juga akan ada aktivitas kelompok yang dilakukan secara bersama-sama seperti melakukan slametan khusus sepanjang 1 minggu.
Bagi masyarakat Jawa, ada beberapa tradisi yang dilaksanakan untuk memperingati malam 1 Suro, diantaranya:
1. Tradisi Kirab
Malam 1 Suro diperingati dengan diadakannya acara tradisi Kirab, baik itu kirab pusaka dan kirab malam 1 Suro. Di Solo, tradisi ini dilakukan dengan tujuan untuk meminta keselamatan dan menjadi sarana untuk instrospeksi diri agar menjadi pribadi yang lebih baik daripada sebelumnya.
Di Surakarta, perayaan kirab malam 1 Suro identik dengan Kebo Bule, yang mana Kebo Bule yang digunakan harus berasal dari keturunan Kyai Slamet. Hewan ini, merupakan hewan kesayangan Paku Buwono, dari sejak dia masih berkuasa di Keraton Kartasura. Kebo Bule dipercayai sebagai pengawal dari ritual kirab pusaka. Ritual tersebut masih dilaksanakan hingga sekarang.
Selain di Solo dan Surakarta, ternyata di Keraton Yogyakarta juga dilakukan perayaan malam 1 Suro dengan cara membawa gunungan tumpeng, Keris, dan benda pusaka lainnya.
2. Mubeng Benteng
Di Keraton Yogyakarta, tradisi malam 1 Suro juga dirayakan dengan ritual Mubeng Benteng. Ritual ini dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri untuk memohon keselamatan kepada Tuhan.
Pada malam itu, biasanya ritual dilakukan dengan cara berjalan kaki mulai dari Keraton Yogyakarta, mengelilingi beberapa tempat, kemudian kembali lagi ke Keraton.
Para Abdi Dalem Keraton yang mengikuti prosesi ritual tersebut biasanya mengenakan pakaian adat Jawa tanpa menggunakan alas kaki, yang kemudian diikuti oleh masyarakat umum di belakangnya.
Ritual tersebut memiliki makna yang cukup dalam, yaitu untuk mendekatkan diri, serta menunjukkan kecintaan terhadap alam semesta. Selama dalam perjalanan, seluruh masyarakat yang ikut ritual tersebut melafazkan tasbih, serta memanfaatkan doa-doa kepada Tuhan.
3. Jamasan Pusaka atau Ngumbah Keris
Keraton Yogyakarta, biasanya juga melakukan ritual jamasan pusaka atau penyiraman pusaka. Dalam prosesi ritual adat tersebut biasanya seluruh benda pusaka milik keraton akan dimandikan atau dibersihkan.
Jamasan pusaka dilakukan untuk menghormati dan merawat seluruh pusaka yang dimiliki keraton. Namun, Keraton Yogyakarta mengungkapkan bahwa ada dua aspek yang melatar belakangi pelaksanaan jamasan pusaka, yaitu mengenai hal teknis dan spiritual.
Pada hal teknis, tradisi ini bertujuan untuk merawat benda-benda pusaka yang menjadi warisan dari orang-orang terdahulu. Adapun, aspek spiritual tradisi ini adalah sebagai bentuk penyambutan oleh masyarakat Jawa terhadap datangnya malam 1 Suro.
Demikianlah ulasan tentang apa arti malam 1 Suro bagi orang Jawa.
Editor : Muri Setiawan