PANGKALPINANG, lintasbabel.id - Secara nasional, pada tahun 2021, Indonesia mengalami inflasi yang cukup rendah sebesar 1,87% (yoy) meskipun lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar 1,68% (yoy). Inflasi yang berada di bawah kisaran sasaran 3±1% tersebut, dipengaruhi oleh permintaan domestik yang belum kuat sebagai dampak pandemi Covid-19, pasokan yang memadai dan sinergi kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah dalam menjaga kestabilan harga.
Sementara itu, di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) pada tahun 2021 mengalami inflasi 3,75% (yoy), lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 sebesar 1,08% (yoy). Meski demikian, capaian inflasi tersebut masih berada dalam sasaran pemerintah 3±1%.
Inflasi tahunan (yoy) yang cukup tinggi dipengaruhi oleh faktor penawaran (supply side), terutama gangguan pasokan sejumlah komoditas terutama ikan-ikanan, aneka cabai yang dipengaruhi faktor La Nina, tren peningkatan harga minyak goreng, dan tren peningkatan harga angkutan udara menjelang libur akhir tahun.
Sedangkan dari faktor permintaan (demand side), didorong oleh meningkatnya harga komoditas unggulan Bangka Belitung seperti timah, CPO, dan lada yang berdampak pada peningkatan pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat.
"Secara bulanan (mtm), inflasi tertinggi terjadi pada bulan Desember 2021 yaitu sebesar 1,22% (mtm). Inflasi Desember 2021 utamanya didorong oleh peningkatan indeks harga konsumen komoditas angkutan udara, cabai rawit, kangkung, ikan selar dan daging ayam ras," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Kepulauan Babel, Tantan Heroika, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/1/2022).
Secara spasial, Kota Pangkalpinang mengalami inflasi sebesar 1,27% (mtm) atau inflasi 3,60% (yoy). Inflasi pada bulan Desember 2021, terutama didorong oleh meningkatnya indeks komoditas angkutan udara, kangkung, dan cabai rawit.
"Sementara, Kota Tanjungpandan mengalami inflasi sebesar 1,14% (mtm) atau 4,01% (yoy), yang didorong oleh peningkatan indeks komoditas cabai rawit, bahan bakar rumah tangga dan ikan ekor kuning," ujarnya.
Melonjaknya harga cabai rawit didorong oleh rendahnya pasokan paska panen seiring panen yang tidak optimal di musim tanam sebelumnya. Sementara permintaan akhir tahun cenderung meningkat sehingga mendorong koreksi harga ke atas.
Berdasarkan data EWS Kementan terkini, produksi cabai rawit diprakirakan menurun pada Desember 2021 ke level 88.001 ton dibandingkan prakiraan produksi November 2021 di kisaran 99.629 ton.
Demikian pula dengan realisasi pasokan cabai rawit di Pasar Induk Keramat Jati yang juga terpantau menurun dari 1.453 ton pada bulan lalu menjadi 904 ton pada periode laporan.
Lebih lanjut, kata Tantan, kondisi cuaca dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan gagal panen di berbagai daerah antara lain di Lampung, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Harga Cabai Meningkat
Sejalan dengan perkembangan tersebut, rerata harga jual cabai rawit di Bangka Belitung sepanjang Desember 2021, meningkat signifikan dari Rp42.800/kg di bulan sebelumnya menjadi Rp79.900/kg.
Pada bulan Januari 2022, inflasi yang tinggi berpotensi masih akan terjadi seiring dengan masih tingginya curah hujan dan gelombang air laut. Hal ini dapat mempengaruhi jumlah pasokan komoditas volatile food di sentra-sentra produksi dalam dan luar Bangka Belitung, serta kelancaran distribusi komoditas tersebut menuju Bangka Belitung.
Untuk itu, pemerintah daerah dan seluruh pihak yang terkait perlu melakukan langkah-langkah pengendalian stabilitas harga.
"Dalam rangka meningkatkan efektifitas pengendalian inflasi tahun 2022 serta mencermati perkembangan Covid-19 dan upaya pencegahan penyebarannya, Bank Indonesia bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terus memonitor perkembangan harga dan stok bahan pokok strategis, mempererat koordinasi antar lembaga dan stakeholders terkait, serta mengedepankan pemenuhan pasokan dari dalam wilayah maupun melalui kerja sama antar daerah sehingga inflasi tahun 2022 dapat terjaga pada rentang 3±1%," tuturnya.
Editor : Muri Setiawan