PANGKALPINANG, lintasbabel.id - Residen Belanda, Nahuys Van Burgst konon memerintah dengan egonya sehingga membuat Pangeran Diponegoro marah. Apalagi di masa pemerintahan Nahuys pernah menangkap ulama saat tengah mengajar di pondok pesantren (Ponpes).
Ini memperparah hubungan antara Belanda-Jawa yang sebelumnya sudah mulai memanas. Pembagian kekuasaan di Jawa menjadikan para raja-raja Jawa Selatan-Tengah begitu kesulitan untuk menyesuaikan diri.
Dikisahkan dalam buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855" tulisan Peter Carey, membuat banyak kerabat keraton Yogyakarta yang merapat ke Pangeran Diponegoro, untuk melakukan perlawanan.
Salah satu peristiwa yang juga membuat geram para kerabat keraton dan Pangeran Diponegoro, adalah penangkapan Kiai Murmo Wijoyo sekitar 1757.
Selain peristiwa itu, perdebatan tentang penunjukan pemungut pajak desa dan pejabat polisi (gunung) antara Diponegoro dan klik keraton di sekitar Ratu Ibu.
Murmo adalah seorang guru agama yang terpandang dan kaya dari daerah Pajang. Konon Kiai Murmo ditangkap tiba-tiba tanpa alasan yang jelas saat tengah mengajar di Ponpes. Beliau kelahiran desa perdikan (desa bebas pajak) Mojo, kampung asal Kiai Mojo, penasihat agama Diponegoro.
Konon Kiai Murmo juga memiliki hubungan darah dengan Pangeran Diponegoro. Dimana setelah muda ia ke Kepundung dekat Delanggu, salah satu dari desa perdikan Yogya yang paling kaya dan merupakan tempat kelahiran ibunda Sultan Pertama, Mas Ayu Tejowati.
Karena memiliki hubungan kekerabatan inilah, Pangeran Diponegoro dibuat kecewa dan marah besar dengan penangkapan tiba-tiba kepada Kiai Murmo. Tak hanya menangkap saja, konon Kiai Murmo hartanya juga disita oleh Belanda sesuai perintah sang Residen Nahuys Van Burgst.
Tak hanya menangkapnya, beberapa santri dan pemuda muslim juga ditangkap Nahuys saat tengah belajar agama Islam. Para santri dan pemuda ini bahkan dapat dijatuhi hukuman mati hanya karena diduga sebagai simpatisan pro Diponegoro.
Rangkaian peristiwa inilah yang membuat hubungan Diponegoro dengan pemerintah kolonial Belanda kian memburuk.
Apalagi Diponegoro sempat diasingkan selama enam tahun 1816-1824 dan kematian Kiai Murmo di pengasingan kian menguncang jiwanya dan menumbuhkan keyakinan diri pada Pangeran Diponegoro, bahwa para pejabat jenis baru Belanda dan para penyewa tanah betul-betul kurang menghormati Islam.
Editor : Haryanto