JAKARTA, lintasbabel.id – Utang pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai Rp6.625,43 triliun atau setara dengan 40,85% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, utang negara Indonesia sudah pada tahap memprihatinkan.
“Utang negara kita ini bisa disebut sudah lampu merah, artinya sudah warning. rasio utang pada PDB bisa meningkat juga ke depannya,” katanya dilansir dari MNC Portal, Rabu (29/9/2021).
Lebih lanjut, Bhima menuturkan, yang perlu diantisipasi ketika pemerintah membutuhkan anggaran yang cukup besar terlebih penuh tantangan untuk mereduksi APBN, mau tidak mau jumlah utangnya akan bertambah.
Sebab, sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 belum usai dan dalam penanganannya masih membutuhkan dana yang tidak sedikit. Adapun hal ini akan memperlebar rasio utang pemerintah ke tingkat 70% PDB atau bahkan hingga 80% PDB dalam 2 sampai 3 tahun ke depan.
“Jumlah utang yang meningkat ini akan ada konsekuensinya terhadap rasio utang kedepannya. Apalagi batasannya 60%. Nah ini dikhawatirkan 2 hingga 3 tahun kedepan akan terjadi pelebaran rasio utang terhadap PDB diatas 60%. Bisa 70 atau 80%. Nah ini kan mengakibatkan batasan-batasan tadi menjadi terlampaui,” kata Bhima.
Selain itu, ia juga menggarisbawahi terkait ruang fiskal. Sebab, beban bunga utang yang harus dibayar, menurutnya dapat menyita ruang fiskal.
Hal itu lantaran masih banyak belanja lainnya yang lebih prioritas tetapi belanja bunga utang tersebut sudah memakan porsi yang relatif meningkat. Sehingga pemerintah sempit ruang untuk melakukan manuver belanja yang dibutuhkan untuk perekonomian.
Sehubungan dengan itu, Bhima merekomendasikan beberapa solusi guna menurunkan beban utang pemerintah. Pertama, meningkatkan penerimaan pajak. Namun, ia memberi catatan, jangan sampai sampai penerimaan pajak ini mengganggu pemulihan ekonomi.
Kedua, melakukan pengendalian belanja negara.
“Jadi belanja-belanja yang sifatnya rutin seperti belanja pegawai dan barang harus berani untuk di pangkas,” jelasnya.
Ketiga, melakukan kreatifitas untuk mengurangi ketergantungan utang yang mahal. Ia mencontohkan, dibandingkan membiayai infrastruktur dengan utang, lebih baik mendorong kerja sama dengan pihak swasta.
Lebih dari itu, kata Bhima, pemerintah bisa melakukan pinjaman dengan denominasi mata uang yang bunganya relatif lebih rendah. Kalau dollar terhitung mahal, alternatifnya bisa menggunakan Yuan ataupun Yen. Sehingga ada kreatifitas untuk menurunkan volatilitas utang, khususnya beban bunga.
Bhima menambahkan, ada hal lain yang menjadi concern dirinya, yaitu kombinasi dari tapering off yang akan melemahkan nilai tukar rupiah dan juga kenaikan inflasi. Sebab menurutnya, dua hal tersebut akan memicu kenaikan suku bunga utang pemerintah.
“Kalau suku bunga utangnya meningkat, maka beban bunga utangnya akan jauh lebih besar dibandingkan 2021. Jadi inflasi dan tapering off ini bisa menjadikan beban bunga utang semakin meningkat. Nah ini juga harus diantisipasi,” tuturnya.
Editor : Muri Setiawan
Artikel Terkait