Tantangan Penegakan Hukum di Indonesia Antara Kepastian, Keadilan dan Kepercayaan Publik
PANGKALPINANG, Lintasbabel.iNews.id - Kalau kita bicara soal penegakan hukum di Indonesia, ada satu kenyataan pahit yang sering terasa: hukum kita berdiri di antara tiga pilar yang sama-sama penting, tapi sering saling tarik-menarik—kepastian, keadilan, dan kepercayaan publik. Ketiganya ideal di atas kertas, tapi begitu masuk praktik, kita seperti berada di ruang yang penuh kompromi.
Pertama, soal kepastian hukum. Banyak orang bilang, “Hukum yang baik itu bukan yang banyak aturannya, tapi yang pasti penerapannya.” Dan menurut gue itu benar banget. Kita punya regulasi yang berlapis-lapis, tapi konsistensi dalam penegakannya masih belum stabil. Ada kalanya dua kasus yang mirip bisa diperlakukan beda karena faktor publikasi, posisi pelaku, bahkan sensitivitas politik. Di titik ini, masyarakat merasa hukum seperti bergantung pada momentum, bukan pada norma yang seharusnya jadi pegangan.
Kemudian ada keadilan, yang menurut gue adalah bagian paling manusiawi dari hukum. Keadilan itu bukan soal hitam-putih; dia bergerak mengikuti konteks, rasa, dan kondisi sosial. Tapi justru di sini sering muncul persoalan.
Masih banyak kasus di mana hukuman terasa nggak sebanding dengan perbuatan. Kadang terasa terlalu ringan, kadang terlalu berat. Ada celah hukum yang dipakai untuk “bermain cantik”, ada proses panjang yang bikin keadilan seperti berjalan sambil tersandung. Seperti kata orang, “Keadilan yang terlambat itu sama saja dengan keadilan yang hilang.” Dan itu masih sering terjadi.
Lalu ada kepercayaan publik, yang menurut gue adalah fondasi yang paling rapuh tapi paling menentukan. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum itu ibarat kaca: sekali retak, susah untuk kembali seperti semula.
Setiap kali muncul kasus pungli, penyalahgunaan wewenang, atau putusan yang terasa ganjil, publik langsung menggeneralisasi. Masyarakat melihat bukan hanya oknum, tapi sistemnya. Padahal, hukum tanpa kepercayaan publik itu seperti rumah megah tanpa pondasi—kelihatannya kokoh, tapi mudah runtuh.
Ketiga hal ini saling berkaitan erat. Kepastian tanpa keadilan cuma jadi aturan kaku. Keadilan tanpa kepastian berubah jadi interpretasi liar. Dan keduanya nggak berarti apa-apa kalau publik nggak percaya. Tantangan kita bukan sekadar memperbaiki aturan, tapi memperbaiki karakter, integritas, dan budaya kerja aparatnya. Transparansi harus jadi kebiasaan, bukan pencitraan. Penindakan internal harus jadi rutinitas, bukan respons terhadap sorotan media.
Buat gue pribadi, penegakan hukum kita bukan tidak mungkin dibenahi. Tapi perlu keberanian untuk mengakui masalah, dan komitmen untuk memperbaiki dari dalam. Karena pada akhirnya, seperti orang bilang, “Negara yang kuat bukan yang banyak hukumnya, tapi yang masyarakatnya percaya pada hukumnya.” Dan ke arah situlah seharusnya kita berjalan.

Editor : Haryanto