get app
inews
Aa Text
Read Next : Menata Pikiran Sebelum Birokrasi: Sebuah Refleksi Filsafat Administrasi Publik

Dari Kepatuhan ke Kinerja: Paradigma Baru Reformasi Birokrasi Indonesia

Jum'at, 07 November 2025 | 22:10 WIB
header img
PNS Pemprov Kepulauan Babel. Foto: Istimewa.

BANGKA, Lintasbabel.iNews.id Selama dua dekade terakhir, reformasi birokrasi di Indonesia telah menjadi proyek besar yang menuntut perubahan sistemik terhadap cara kerja aparatur negara. Namun, di tengah upaya panjang tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah reformasi birokrasi telah benar-benar mengubah orientasi aparatur dari sekadar patuh terhadap aturan menjadi berorientasi pada kinerja?

Sejak bergulirnya agenda reformasi birokrasi pada 2010 dan kemudian diperkuat melalui Grand Design Reformasi Birokrasi 2020–2025, pemerintah telah menempatkan nilai-nilai seperti profesionalisme, akuntabilitas, dan pelayanan publik sebagai inti perubahan. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa birokrasi kita masih cenderung terjebak dalam “paradigma kepatuhan” mengukur keberhasilan dari seberapa lengkap dokumen, bukan seberapa besar dampak kebijakan terhadap masyarakat.

Paradigma lama ini diwarisi dari tradisi Weberian bureaucracy yang menekankan hierarki, prosedur, dan kontrol ketat. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, sistem ini awalnya diperlukan untuk menciptakan keteraturan pascareformasi politik. Namun, dalam era digital dan tuntutan pelayanan publik yang makin kompleks, paradigma tersebut menjadi beban. Ketika aparatur sibuk mematuhi prosedur, energi mereka justru habis untuk mengelola administrasi, bukan menciptakan nilai publik.

Perubahan paradigma menuju birokrasi berbasis kinerja sebenarnya telah lama disuarakan. New Public Management (NPM), yang berkembang pada 1980-an di negara-negara OECD, memperkenalkan prinsip efisiensi, orientasi hasil, dan penggunaan logika manajerial di sektor publik. Osborne dan Gaebler (1992) dalam Reinventing Government menyebut bahwa birokrasi modern harus “mengemudikan kapal, bukan mendayung” mengatur arah, bukan sekadar menjalankan perintah.

Di Indonesia, semangat ini diadopsi melalui penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan mekanisme e-performance ASN. Kementerian PANRB bahkan mendorong instansi pemerintah untuk bertransformasi menjadi organisasi yang “adaptif, kolaboratif, dan berorientasi hasil.”

Namun, transformasi ini tidak sekadar soal mengubah sistem pelaporan. Ia membutuhkan perubahan budaya kerja. Culture of compliance yang terlalu menekankan prosedur perlu bergeser ke culture of performance di mana inovasi, kolaborasi, dan kepemimpinan berbasis nilai menjadi kunci. ASN tidak lagi cukup hanya “hadir dan patuh”, tetapi harus “berinovasi dan berkontribusi.”

Transformasi budaya kerja tersebut sejalan dengan gagasan Public Value Management (Moore, 1995) yang menekankan bahwa tugas birokrasi bukan sekadar menegakkan aturan, melainkan menciptakan nilai publik. Dengan demikian, keberhasilan organisasi publik seharusnya diukur dari sejauh mana kebijakan dan layanannya memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Namun, data menunjukkan bahwa pergeseran ke arah tersebut masih berjalan lambat. Berdasarkan laporan Kementerian PANRB (2023), rata-rata Indeks Reformasi Birokrasi Nasional memang meningkat dari 70,3 (tahun 2022) menjadi 72,1 (tahun 2023). Namun, peningkatan itu belum diikuti oleh perbaikan signifikan dalam indeks persepsi kualitas layanan publik yang masih stagnan di kisaran 3,9 dari skala 5. Artinya, birokrasi memang lebih tertib dalam pelaporan, tetapi belum sepenuhnya berorientasi hasil.

Kondisi serupa terlihat pada evaluasi SAKIP nasional. Banyak pemerintah daerah memperoleh predikat “B” atau “BB” dalam penilaian kinerja, namun temuan Ombudsman menunjukkan keluhan pelayanan publik masih tinggi, terutama dalam layanan administrasi kependudukan dan perizinan. Hal ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara “kinerja administratif” dan “kinerja substantif” yang dirasakan masyarakat.

Di sinilah peran digitalisasi pemerintahan menjadi strategis. Melalui e-government dan smart governance, pemerintah dapat memangkas rantai birokrasi, memperkuat transparansi, dan mendorong kinerja berbasis data. Namun, digitalisasi tanpa perubahan budaya hanya akan melahirkan birokrasi elektronik prosedur lama yang dibungkus teknologi baru.

Paradigma kinerja juga menuntut kepemimpinan transformasional di sektor publik. Pemimpin birokrasi tidak cukup hanya menjadi pengawas regulasi, tetapi harus menjadi enabler perubahan. Mereka perlu menciptakan lingkungan yang mendorong inovasi, memberikan ruang bagi ASN muda untuk berkreasi, dan membangun sistem penghargaan yang adil berbasis hasil kerja.

Reformasi birokrasi tahap ketiga (2025–2030) sebagaimana dirancang KemenPANRB diarahkan untuk mewujudkan “Birokrasi Berkelas Dunia.” Namun, cita-cita itu hanya akan tercapai bila aparatur memahami esensi kinerja sebagai bentuk tanggung jawab moral kepada publik, bukan sekadar kewajiban administratif. Kinerja bukan hanya angka dalam laporan, tetapi representasi dari nilai yang dihasilkan bagi masyarakat.

Perlu diingat, kepatuhan bukanlah hal yang salah. Dalam birokrasi modern, kepatuhan tetap penting sebagai fondasi tata kelola yang baik (good governance). Namun, kepatuhan harus menjadi sarana, bukan tujuan. Tujuan akhirnya adalah kinerja yang berorientasi pada hasil dan nilai publik.

Dengan demikian, reformasi birokrasi tidak boleh berhenti pada perbaikan sistem dan regulasi. Ia harus menjelma menjadi gerakan nilai sebuah perubahan paradigma yang menempatkan ASN sebagai agen perubahan, bukan sekadar pelaksana aturan. 

Arah baru ini membutuhkan kepemimpinan publik yang berani keluar dari zona nyaman, sistem insentif yang berbasis merit, serta ekosistem digital yang mendukung kolaborasi lintas sektor. Bila semua unsur ini berpadu, maka reformasi birokrasi bukan hanya akan melahirkan birokrasi yang bersih dan akuntabel, tetapi juga birokrasi yang lincah, adaptif, dan berorientasi pada hasil.

Pada akhirnya, transformasi birokrasi dari kepatuhan menuju kinerja bukanlah sekadar perubahan teknokratis, melainkan revolusi mental aparatur negara. Di tangan ASN yang berintegritas, berorientasi hasil, dan berjiwa melayani, birokrasi Indonesia dapat menjadi mesin penggerak kemajuan bangsa. Sebab, hakikat birokrasi yang baik bukan terletak pada seberapa taat ia pada aturan, melainkan seberapa besar manfaat yang mampu ia hadirkan bagi rakyatnya. (*)

(*) Penulis : Kurnia Apriyanti

Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pahlawan 12 Sungailiat

Editor : Muri Setiawan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut