Digital tapi Manual: Pola Pikir Birokrat Bikin Reformasi Jadi Gimmick!
BANGKA, Lintasbabel.iNews.id - Lebih dari dua dekade reformasi birokrasi menjadi agenda utama di Indonesia. Aturan diperbarui, struktur disederhanakan, dan layanan publik bertransformasi ke arah digital. Namun, di tengah semua kemajuan itu, muncul pertanyaan sederhana namun mendalam: apakah birokrasi kita benar-benar berubah, atau hanya berganti bentuk tanpa menyentuh cara berpikir orang-orang yang menjalankannya?
Reformasi birokrasi sering kali dipahami sebagai urusan teknis. Pemerintah menata struktur, mengatur sistem merit, memperkuat digitalisasi, dan membangun standar pelayanan publik. Namun, kalau dilihat dari perspektif filsafat ilmu administrasi, birokrasi bukan hanya soal sistem, melainkan tentang kesadaran manusia dalam mengelola kehidupan bersama.
Administrasi publik, menurut Dwight Waldo, jauh dari netral. Ia adalah wujud dari “filsafat dalam tindakan” cerminan konkret dari nilai, etika, dan kesadaran moral birokrat dalam menjalankan tanggung jawabnya. Dengan demikian, reformasi birokrasi tidak boleh berhenti pada pembenahan struktur semata; ia harus menembus revolusi pikiran, membentuk cara berpikir baru di mana setiap birokrat memahami perannya bukan sekadar sebagai pelaksana aturan, tetapi sebagai pelayan publik yang bermakna dan beretika.
Max Weber memang menempatkan birokrasi sebagai simbol rasionalitas dan efisiensi modern. Tapi Weber juga mengingatkan, jika rasionalitas itu hanya berfokus pada prosedur dan kepatuhan, birokrasi bisa kehilangan sisi kemanusiaannya. Dan di sinilah persoalan kita: birokrasi sudah digital, tapi pola pikirnya masih manual. Sistemnya sudah modern, tapi cara melihat warga negara sering kali masih “top-down.”
Reformasi birokrasi sejatinya adalah transformasi kesadaran. Herbert Simon menyebut keputusan birokrasi dibatasi oleh nilai dan persepsi moral bounded rationality. Maka, memperbaiki birokrasi tak cukup dengan membuat peraturan baru, tapi juga membangun kesadaran baru tentang apa makna melayani.
Berbagai contoh di lapangan menunjukkan bagaimana reformasi birokrasi diterapkan dalam praktik sehari-hari:
1. Transformasi digital di Dukcapil
Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Dukcapil telah mengembangkan Digital ID dan sistem layanan daring untuk mempercepat pelayanan publik. Namun resistensi terhadap inovasi masih ditemukan karena sebagian aparatur belum siap secara mental. Kasus ini menunjukkan bahwa modernisasi teknologi tanpa modernisasi kesadaran tidak akan menghasilkan perubahan yang substantif.
2. Inovasi pelayanan di Kabupaten Banyuwangi
Program Smart Kampung tidak hanya berhasil mengintegrasikan layanan publik di tingkat desa, tetapi juga membangun paradigma baru di kalangan aparat desa. Pelayanan tidak lagi dipandang sebagai rutinitas administratif, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Di sini, perubahan cara berpikir menjadi faktor kunci keberhasilan reformasi.
3. Gerakan integritas di Kementerian Keuangan
Melalui Integrity Office dan Integrity Talks, Kementerian Keuangan berupaya menumbuhkan budaya reflektif di kalangan pegawai. Pendekatan ini menempatkan kesadaran moral sebagai inti dari profesionalisme birokrasi sebuah bentuk ethical governance yang menautkan antara sistem, nilai, dan kesadaran diri.
Dari contoh-contoh tersebut, satu hal jelas: struktur birokrasi tidak akan hidup tanpa kesadaran yang menggerakkannya. Sistem yang baik tanpa perubahan pola pikir hanya menghasilkan rutinitas kering makna. Sebaliknya, ketika kesadaran berubah, struktur otomatis mengikuti. Reformasi birokrasi yang sejati adalah reformasi kesadaran
Kita perlu melihat birokrasi bukan hanya sebagai mesin kebijakan, tetapi sebagai ruang etis di mana manusia bekerja dengan nilai, moral, dan tanggung jawab. Melayani bukan sekadar tugas administratif, tapi panggilan moral. Mengelola publik bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal refleksi kemanusiaan. Tanpa revolusi pikiran, setiap inovasi, digitalisasi, atau peraturan baru hanya akan menjadi hiasan formalitas tanpa makna.
Reformasi birokrasi tanpa perubahan cara berpikir hanya akan menghasilkan perubahan semu: struktur baru, tapi mentalitas lama tetap bertahan. Namun, jika dimulai dari kesadaran, reformasi bisa menjadi gerakan yang lebih dalam untuk mengembalikan makna birokrasi dari sekadar alat kekuasaan menjadi ruang yang menegakkan kemanusiaan. Pada akhirnya, struktur birokrasi hanyalah cerminan dari pikiran dan nilai-nilai yang dianut oleh orang-orang yang mengelolanya.(*)
(*)
Penulis : Kurnia Apriyanti
Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pahlawan 12 Sungailiat
Editor : Muri Setiawan