JAKARTA, Lintasbabel.iNews.id - Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran terus menuai kritik. Sejumlah pasal dalam draft RUU Penyiaran itu dinilai berpotensi memberangus kebebasan pers.
Meski muncul penolakan, pembahasan Rancangan Undang-undang tetap berjalan.
"Draft itu belum pernah dibahas dalam komisi I DPR, baru diharmonisasi di Baleg," kata Dave Laksono, anggota Komisi I DPR.
Harmonisasi yang dimaksud adalah pemeriksaan terkait ada tidaknya pasal yang bertentangan dengan undang-undang lain.
"Pembahasan belum masuk kemana mana. Semangatnya tidak membredel pembatasan akses informasi, justru menguatkan dunia penyiaran," kata Dave saat menjadi narasumber dalam Diskusi Publik, Menyoal Revisi UU Penyiaran Yang Berpotensi Mengancam Kemerdekaan Pers, yang diselenggarakan IJTI di Hall Dewan Pers Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Salah satu pasal yang menuai protes, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi. Sementara liputan investigasi dan ekslusif menjadi mahkotanya jurnalis, karena hasil liputan yang mendalam, membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan larangan untuk menyiarkan liputan investigasi dan ekslusif tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Ada yang toxic terhadap kebebasan pers. Kita belum tau siapa yang memasukan pasal-pasal yang merenggut kemerdekaan pers," katanya.
Yadi menjelaskan, upaya merenggut kemerdekaan pers sudah berlangsung sejak 2007. Dan upaya tersebut terus berlangsung hingga RUU KUHP tahun 2024.
"Datanya memang ada. Intervensi terhadap kemerdekaan pers terus berlangsung," katanya.
Sementara pemerhati media, Wina Armada mempertanyakan inisiator pembungkaman kemerdekaan pers dengan memasukan pasal kontroversi dalam revisi undang-undang penyiaran.
"Ini Undang-undang yang penuh paradaox dan kacau balau," katanya.
Menurutnya, draft rancangan undang-undang penyiaran yang beredar luas itu menjadi ancaman terhadap demokrasi dan kemerdekaan pers.
"Ini lebih buruk dari orde baru," ujarnya.
Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan mengatakan, DPR tidak perlu terburu-buru untuk mensahkan rancangan tersebut menjadi undang-undang.
"Ada beberapa pasal yang merugikan jurnalis. Jadi, sikap kami adalah jangan sampai RUU ini disahkan terburu-buru,” katanya.
Kekhawatiran itu muncul karena masa jabatan DPR akan berakhir 30 September 2024, dan rancangan undang-undang tersebut direncanakan akan selesai sebelum masa jabatan berakhir, dengan alasan agar tidak tertunda lagi. Rancangan undang-undang penyiaran sudah dibahas sejak 2013.
"Kalau buru-buru menyelesaikan, akibatnya akan sangat buruk dan yang paling terdampak adalah publik. Itu yang paling berbahaya," tuturnya.
Herik menegaskan IJTI menolak pasal-pasal dalam RUU Penyiaran yang menghalangi tugas jurnalistik dan kemerdekaan pers. Aksi penolakan akan terus berlangsung hingga DPR mencabut pasal-pasal yang merugikan tugas jurnalistik.
Editor : Muri Setiawan