GUATEMALA CITY, Lintasbabel.iNews.id - Sebuah teknologi laser yang disebut light detection and ranging (Lidar), berhasil mengungkap situs kuno di bawah hutan hujan Guatemala. Situs kuno seluas seluas 650 mil persegi atau 1.700 km persegi itu disebut-sebut milik Suku Maya.
Situs suku Maya seluas 1.700 km persegi yang tersembunyi di bawah hutan hujan Guatemala terungkap dengan menggunakan teknologi light detection and ranging (Lidar). Foto: Ancient Mesoamerica/Live Science.
Menariknya, usia situs kuno ini adalah dari periode Praklasik Tengah dan Akhir, atau kira-kira 1000 sebelum Masehi (SM) hingga 250 SM.
Temuan ini merupakan hasil survei udara yang dilakukan para peneliti di Guatemala melalui pesawat terbang menggunakan lidar. Teknologi Lidar sendiri menggunakan sinar laser yang dipancarkan, dan cahaya yang dipantulkan untuk membuat citra lanskap dari udara.
Teknologi Lidar sangat bermanfaat di area seperti hutan hujan di Cekungan Karst Mirador-Calakmul Guatemala. Sebab, sinar laser mampu menembus kanopi pohon yang tebal di sekitar hutan hujan Guatemala.
“Data lidar menunjukkan untuk pertama kalinya sebuah wilayah yang terintegrasi secara politik dan ekonomi. Ini belum pernah terlihat sebelumnya di tempat lain di Belahan Bumi Barat. Kita sekarang dapat melihat seluruh lanskap wilayah Maya,” kata Carlos Morales-Aguilar, ahli dari geografi dan lingkungan di University of Texas di Austin, kepada Live Science, Kamis (12/1/2023).
Tim berhasil mengidentifikasi lebih dari 1.000 permukiman yang tersebar di wilayah tersebut, melalui teknologi ini. Disebutkan bahwa semua saling terhubung dengan jalan lintas sepanjang 100 mil atau 160 kilometer yang kemungkinan besar dilalui suku Maya dengan cara berjalan kaki.
Tak hanya itu, para ahli juga mendeteksi sisa-sisa beberapa platform besar dan piramida, bersama dengan kanal dan waduk yang digunakan untuk pengumpulan air.
“Suku Maya menetap di [kawasan ini] karena memiliki perpaduan yang tepat antara dataran tinggi untuk pemukiman dan dataran rendah untuk pertanian,” kata Ross Ensley, ahli geologi dari Institute for Geological Study of the Maya Lowlands di Houston.
Dataran tinggi menyediakan sumber batu kapur, bahan bangunan utama, dan lahan kering untuk hidup. Dataran rendah sebagian besar merupakan rawa musiman atau bajo, yang menyediakan ruang untuk pertanian lahan basah serta tanah yang kaya organik untuk digunakan dalam pertanian terasering.
Sebelumnya, para peneliti juga menggunakan Lidar untuk memindai situs Maya di Guatemala, tepatnya pada tahun 2015, sebuah prakarsa bernama Mirador Basin Project melakukan dua survei skala besar di bagian selatan cekungan, dengan fokus pada kota kuno El Mirador.
Proyek itu mengarah pada pemetaan 658 mil persegi atau 1.703 km persegi bagian negara ini.
“Ketika saya membuat model pertama dari kota kuno El Mirador, saya terpesona. Sangat menarik untuk mengamati untuk pertama kalinya sejumlah besar waduk, piramida monumental, teras, area pemukiman, dan gundukan kecil,” kata Morales-Aguilar.
Para peneliti berharap teknologi lidar akan membantu mereka menjelajahi bagian Guatemala yang tetap menjadi misteri selama berabad-abad.
“Lidar telah menjadi revolusioner untuk arkeologi di daerah ini, terutama jika tertutup hutan tropis di mana jarak pandang terbatas,” ucap Marcello Canuto, Direktur Institut Riset Amerika Tengah di Universitas Tulane.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada oleh dengan judul "Situs Suku Maya yang Tersembunyi di Bawah Hutan Guatemala Terungkap Berkat Teknologi Lidar"
Editor : Muri Setiawan