JAKARTA, Lintasbabel.iNews.id - Membaca atau mengenang kembali kisah masa lampau, bisa menjadi salah satu cara untuk mempelajari kondisi, fenomena, serta peristiwa yang bisa dipetik pelajaran dan hikmahnya di masa sekarang. Dari kisah lampau tersebut, harapannya dapat menjadi motivasi atau pelajaran agar kedepan kita bisa melangkah jauh lebih baik.
Salah satu kisah lampau yang mungkin jarang diketahui publik adalah soal lingkungan militer Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) di masa pemerintahan Kolonial Belanda. Bukan soal bagaimana perlakuan tentara kolonial terhadap para tahanan, tetapi bagaimana kisah mesum yang terjadi disana.
Faktanya, di kompleks markas Kolonial Belanda itu tumbuh subur praktik pergundikan atau menyimpan perempuan tanpa ikatan pernikahan (samen laven).
Seorang serdadu KNIL bahkan diizinkan memiliki nyai atau moentji, sebutan untuk perempuan simpanan di dalam tangsi militer. Mereka hidup tanpa ikatan pernikahan, atau sekarang disebut kumpul kebo.
Setiap kali usai bertugas, tentara dipandang butuh dilayani. Mereka perlu perempuan simpanan untuk mengurus pakaian, senjata, makanan, bersih-bersih ruangan, hingga layanan di atas ranjang. Bagi KNIL, praktik pergundikan tersebut tak perlu dilarang, karena katanya bisa menguatkan mental para tentara.
Tentara KNIL, Nyai dan anak mereka. Foto: Istimewa/ KITLV.
Jenderal Haga, pemimpin KNIL dalam suratnya kepada Menteri Penjajahan L.W.Ch Keuchenius tahun 1887 menyebut, pelarangan pergundikan justru hanya akan menimbulkan kerugian. Ketidakhadiran para perempuan di tangsi militer, justru akan membuat para serdadu mengalami rasa kehilangan yang amat besar.
"Pelarangan pergundikan tangsi pasti akan memberi pengaruh yang merugikan dalam merekrut para Pribumi dan orang-orang Ambon," tulis Jenderal Haga seperti dikutip dari buku Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
Tercatat, sampai tahun 1898, jumlah tentara KNIL di Hindia Belanda mencapai 42.000 orang. Dimana 18.000 orang diantaranya adalah serdadu Eropa, selebihnya tentara pribumi. Di dalam tangsi militer, mereka memiliki julukannya masing-masing. Serdadu Eropa berjuluk Jan Fuselier atau tentara bersenjata. Sedangkan serdadu pribumi dipanggil Kromo. Sementara Sarina adalah julukan perempuan yang hidup di dalam tangsi.
Meski praktik pergundikan dibolehkan, KNIL tetap menerapkan persyaratan super ketat. Seorang calon nyai harus berkelakukan baik, yang itu dibuktikan dengan keterangan pihak berwenang setempat. Bukti kelakukan baik diserahkan serdadu pemohon kepada panglima militer.
Jika terbukti benar (berkelakuan baik), si nyai langsung didata dalam daftar khusus yang isinya nama terang, kelahiran, nama tentara yang bersamanya, dan tanggal masuk.
"Setelah itu ia pun mendapat surat izin masuk ke dalam tangsi," tulis Reegie Baay dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda.
Praktik pergundikan di tangsi lebih banyak dilakukan serdadu KNIL berstatus lajang atau bujangan. Mereka terdorong oleh para tentara yang sudah menikah dan dibolehkan membawa istri dan anaknya ke dalam tangsi. Para tentara lajang itu mendapatkan nyai dengan berbagai cara. Ada yang mencari. Ada yang mendapat dari tawaran keluarga yang sengaja menawarkan anak gadisnya.
Bahkan, banyak yang mendapatkan dari perempuan pribumi yang menawarkan diri mereka sendiri untuk menjadi nyai. Banyak dari perempuan itu yang sebelumnya bekerja di warung makan tidak jauh dari tangsi.
"Mereka mencari pasangan pergundikan dengan berdiri di gerbang tangsi dan menawarkan diri kepada para serdadu yang baru datang dari Eropa, dan kepada mereka yang mencari nyai," tulis Reggie Baay.
Usia nyai di tangsi militer relatif muda, antara 12 sampai 35 tahun. Untuk nyai 30 tahun sudah dianggap sepuh.
Seorang Nyonya Belanda bersama anak-anaknya. Foto: Istimewa/ KITLV.
Selain perempuan pribumi, tak sedikit nyai keturunan Indo-Eropa ada di kompleks tangsi. Mereka yang berasal dari hasil pergundikan sebelumnya. Berbeda dengan nyai perempuan pribumi. Nyai Indo-Eropa selalu selektif dalam memilih pasangan. Perwira berpangkat rendah dan sejenisnya, selalu menjadi favoritnya.
Hal itu yang membuat nyai keturunan Indo-Eropa dipandang lebih tinggi dari nyai pribumi. Sementara bagi sebagian perempuan pribumi, menjadi nyai adalah cara melepaskan diri dari kemiskinan. Ya, motif utamanya ekonomi.
Dengan menjadi nyai biaya hidup lebih terjamin. Penghasilan lebih teratur, termasuk adanya pendapatan tambahan dari jasa mencuci pakaian serdadu yang lain. Namun di sisi lain mereka berhadapan dengan risiko sosial yang besar. Menjadi nyai dianggap merendahkan diri sendiri. Apalagi jika pasangannya seorang Eropa, mereka dianggap telah merendahkan diri di depan bangsa sendiri. Ujung-ujungnya adalah menjadi orang asing di masyarakat atau keluarga sendiri.
"Posisi mereka berada di antara perempuan biasa dan pelacur," kata Anggota Perlemen Scheuren dalam pandangan umum 29 November 1911.
Nasib buruk membayangi para nyai pribumi. Saat umur mereka bertambah tua, fisik tak lagi menarik dan apalagi ditambah adanya anak hasil pergundikan, eksistensi nyai pribumi mulai terancam.
Seorang nyai bisa tiba-tiba dikeluarkan dari tangsi karena tak lagi dikehendaki pasangan kumpul kebonya. Sebab hubungan tentara Eropa dengan nyai pribumi tidak pernah sederajat.
"Hubungan antara orang Eropa, bahkan yang brengsek dan miskin sekali pun, dengan nyai Pribumi di dalam tangsi tidak pernah sederajat," kata Reggie Baay.
Selain usia dan tak menarik, mutasi tentara ke tempat lain juga bisa menjadi ancaman. Kemudian habisnya masa kontrak di mana si tentara harus pulang ke Eropa. Para nyai yang bernasib sial itu tak lagi memiliki masa depan, baik di dunia Eropa maupun di dunia pribumi. Tak jarang mereka yang tak lagi berpenghasilan dan harus merawat anak-anaknya sendiri itu, nekat terjun ke jalur prostitusi.
Dalam perjalanannya kemudian, protes terhadap praktik pergundikan tangsi militer bermunculan. Protes datang dari masyarakat Eropa di Hindia Belanda yang mendesak untuk dihapuskan. Pergundikan dianggap sebagai penyebab munculnya penyakit kelamin di kalangan tentara KNIL.
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Minggu, 24 Juli 2022 - 04:30 WIB oleh Solichan Arif dengan judul "Kisah Gundik dan Nyai Pribumi di Tangsi Tentara KNIL Masa Kolonial Belanda"
Editor : Muri Setiawan